Selasa, 22 Januari 2019

Tanah Kelahiranku







Pada tahun 1980, sepasang kekasih melangsungkan pernikahan adat, di sebuah pulau yang dikagumi banyak orang di dalam maupun luar negeri pada masa itu, pulau ini di kelilingi oleh air tawar terluas di Indonesia, bahkan terluas di dunia, pulau ini bernama Pulau Samosir, air tawar yang mengelilinginya disebut Danau Toba. Keluarga baru ini tinggal di Sinuan Rautbosi Kecamatan Pangururan, mereka berasal keluarga yang berekonomi lemah, untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari sang suami bekerja sebagai nelayan, sang isteri membantu suami dengan bercocok tanam.
Sang suami bernama L Sihaloho, anak dari Sihaloho dan Br Turnip, beliau adalah anak ke 2 dari 5 bersaudara, tetapi karena si sulung pergi merantau dan meninggalkan mereka semua dan tidak pernah ada berita lagi maka tampuk kesulungan diserahkan oleh orang tua dan adik adiknya kepadanya. Beliau mempunyai 3 orang saudara laki – laki dan satu orang adik perempuan yaitu Rusli boru Sihaloho. Seperti pada kebanyakan keluarga batak, jika anak itu adalah anak satu – satunya laki – laki atau satu – satunya anak perempuan dalam keluarga tersebut maka tanpa disadari para orang tua memperlakukannya berbeda dengan saudaranya yang lain, dia dimanja seperti pangeran atau putri di keluarga tesrsebut. Hal itulah yang terjadi pada adik perempuannya. Keluarga besar dari laben sihaloho beragama Katolik, meskipun keluarga besarnya telah memiliki agama tetapi mereka masih percaya kepada kuasa – kuasa kegelapan, dan kepercayaan ini sudah mendarah daging mulai dari kakeknya bahkan buyutnya masih meyakini kekuatan lain diluar kekuatan kita tapi bukan kekuatan Allah melainkan kekuatan Debata Mulajadi Nabolon. Debata Mulajadi Nabolon adalah tuhan yang diakui oleh bangsa batak sebagai pribadi yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya.  Orang batak yang menganut kepercayaan ini menyebut diri mereka Parmalim. Kepercayaan ini hampir mirip dengan kepercayaan suku Dayak di pedalaman Kalimantan yang mereka sebut dengan Kaharingan.
Sang isteri bernama A boru Simarmata, anak dari Simarmata dan Br manik, beliau adalah anak keempat dari enam bersaudara dan satu – satunya anak perempuan ditengah – tengah keluarganya. Beliau mepunyai 2 orang abang  dan 3 orang adik. Meskipun beliau adalah anak satu – satunya perempuan diantara saudaranya tetapi dia tidaklah diperlakukan terlalu special, dan beliau juga tidak menempatkan diri menjadi special, beliau tetap bekerja seperti juga halnya dengan abang dengan adiknya yang adalah pria. Keluarga besarnya berasal dari Lumban suhi – suhi, mereka beragama Kristen tetapi masih mempercayai Debata Mulajadi Nabolon sebagai pencipta segala sesuatunya.
Perbedaan pola pikir tentang cara mendidik anak dari masing   - masing keluarga yang berbeda tersebut diatas menyatu dalam satu keluarga baru, yaitu  sihaloho dan  Simarmata. Pada suatu hari setelah menikah, adik perempuan dari Sihaloho meminta agar disediakan sesajen guna menenangkan roh yang menghinggapinya, dengan harapan melalui acara tersebut segera menemukan jodoh yang sepadan baginya. Mendengar bahwa adiknya mempunyai keinginan maka Sihaloho memerintahkan sang isteri untuk mepersiapkan segala sesuatunya.  Dengan dengan hati yang tidak setuju sang isteri tetap melakukan yang di perintahkan oleh sang suami dengan harapan semoga yang adiknya inginkan terjadi. Setelah mencoba beberapa kali ternyata hasilnya tetap saja tidak berubah yaitu jikalau dia suka pada satu pria, pria itu tidak suka padanya, jika sang pria itu suka padanya maka dia yang tidak suka. Kejadian ini terjadi berkali – kali sehingga sang isteri tidak percaya lagi dengan kegiatan – kegiatan supranatural yang diminta oleh Adik dan sang isteri beranggapan bahwa keinginan itu datangnya bukan dari roh yang menginggapi Rusli tetapi dari keinginan dirinya sendiri yang ingin diperlakukan bagai puteri raja. Ketidakpercayaan ini sering menimbulkan pertengkaran ditengah keluarga besar mereka, bahkan terkadang jika pertengkaran menjadi sengit, tak jarang juga sang suami sampai memukul sang isteri.  Bahkan sang mertua atau ibu sang suami juga tak jarang turun tangan langsung untuk mengontrol kegiatan supranatural tersebut untuk memastikan tidak ada yang kurang dari sesajen tersebut, sang ibu mertua adalah pendukung besar dari setiap kegiatan supranatural adik yang katanya wajib dilakukan setiap sebulan sekali. Yang menjadi keberatan dari sang isteri bukan kegiatan tersebut tetapi setiap ada kegiatan, yang menanggung beban biayanya adalah keluarga kecilnya, sementara keluarga kecilnya hanya hidup dari bercocok tanam dan hasil mencari ikan di danau yang terkadang tak jelas hasilnya. Disamping masalah biaya yang memberatkan itu, ada pula masalah mencari bahan dan persyaratan untuk sesajen tersebut, besar dari ikan mas atau ikan batak yang biasa disebut orang batak sebaga Ihan, yang diminta harus sama persis begitu juga dengan jenis ayam dan warnanya juga harus sama, jika tidak menemukan persyaratan tersebut maka sang isteri dimarahi oleh sang suami dan ditambahi oleh Rusli dan ibu mertuanya. Bahkan tak jarang terjadi pertengkaran yang dasyat diantara menantu dan mertua, sang mertua berharap bahwa menantu akan menuruti semua yang diinginkan oleh anak perempuan satu  -satunya, tetapi bagi sang menantu tidak ada kata tunduk pada orang suka menyakiti perasaan orang lain terutama menyakiti hatinya karena sang isteri juga adalah anak perempuan satu – satunya ditengah keluarganya tetapi ia tidak bertindak semaunya. Keadaan seperti ini terus terjadi setiap Adik meminta untuk disiapkan sesajen.
Pada tahun 1982, lahirlah seorang anak laki – laki ditengah keluarga Sihaloho, tetapi bayi tersebut tidak bertahan lama, mungkin karena selama berada didalam kandungan sang ibu selalu merasa depresi dan tertekan, sehingga berakibat fatal pada janin. Ketika sang bayi lahir kedunia, tidak terdengar suara tangisan seperti bayi bayi kebanyakan, keadaan ini menambah depresi sang ibu sianak, dukun beranak yang menangani proses persalinan tersebut melakukan usaha pertolongan kepada sang bayi sehingga sang bayi dapat hidup. Melihat sang bayi telah melewati masa kritisnya, keluarga besar sangat bersuka cita, tetapi sukacita itu tidak bertahan lama karena pada akhirnya yang Maha Kuasa memanggil dia kesisiNya. Setelah kejadian tersebut mereka tetap berharap bahwa yang maha kuasa pasti memberikan anak lagi. Tuhan menjawab kerinduan mereka, sehingga pada hari Minggu
Tanggal 22 Desember 1984, lahirlah seorang anak laki – laki, kelahiran anak ini membangkit kembali semangat sang ibu yang sudah lama layu, bayi itu lahir dengan sehat dan pastinya dia menangis ketika dilahirkan ke dunia. Sejak lahir, anak sulung ini konon katanya adalah anak yang dimanja dan agak sulit untuk diatur. Keluarga Sihaloho beribadah di Gereja Katolik Sinuan Rautbosi yang berada dibawah keuskupan agung Medan. Menurut agama katolik, untuk member nama pada anak, setiap anak harus dibaptis sebagai tanda penyerahan kepada Tuhan. Sehingga pada tanggal 26 Mei 1985 dibaptislah seorang anak laki – laki di sebuah Gereja Katolik yang berada di Sinuan Rautbosi. Acara baptisan dipimpin oleh Pastor Thadeus Thaniyo seorang Pastor yang berasal dari Jerman dan yang menjadi Wali baptis adalah Bp. Ros Turnip dan Bp. Johanna Nainggolan. Anak yang dibaptis tersebut diberi nama Mangadartua Sihaloho, itulah saya. Mengapa diberi nama Mangadartua? Karena menurut orang tua saya, sejak kelahiran saya kehidupan keluarga kami menjadi lebih baik, jadi saya dinamakan  Mangadartua yang artinya adalah membawa berkah atau membagikan berkah. Dua tahun kemudian, pada tanggal 7 November 1986 lahirlah adik saya dia seorang perempuan dan diberi nama Nurmitani br Sihaloho, dengan kelahiran adik saya ini maka lengkaplah sudah kegembiraan ditengah tengah keluarga kami.
Pada saat saya kecil, saya sering melihat mama menangis, aku hanya bisa menatap mama, aku belum mengerti apapun, terkadang aku menagis bila melihat mama menangis. Meskipun aku telah memiliki adik, sifat ayahku tidak juga berubah, jika bibiku datang dan meminta untuk disiapkan sesajen, maka ayahku akan segera bertindak, jika dirumah tidak ada uang maka ayah  menyuruh mama untuk meminjam uang kepada tetangga atau saudara tanpa berpikir bagaimana cara mengembalikannya. Jika situasi sudah seperti ini maka yang menjadi sibuk adalah adalah mama, mama yang mencari ikan, ayam dan kebutuhan lainnya yang dibutuhkan untuk keperluan kegiatan tersebut. Hal ini sangat menekan mama, mama tidak melarang mereka untuk melakukan penyembahan berhala mereka asal saja tidak membebani dan merepotkan mama, tapi pada kenyataannya mamalah yang sibuk mengurus segala sesuatunya sementara ayah, bibi, dan nenek asyik berbincang – bincang tanpa ada rasa bersalah karena telah merepotkan mama setiap kali mereka akan mengadakan pemujaan tersebut. Mama mencoba sabar menghadapi semuanya, meski terkadang sulit dan berat baginya untuk menjalani hari – harinya, disamping harus mengurus kami berdua mama juga harus mengerjakan dan meyediakan segala sesuatu yang diinginkan oleh nenek dan bibiku. Pernah suatu malam, aku terbangun karena mendengar mama dan ayahku bertengkar, aku melihat mama menagis dengan dengan sangat sedih, kalau saya tidak salah ingat pada saat itu mama sudah mempersiapkan koper pakaiannya untuk pergi meninggalkan kami, karena aku melihat mama menangis, aku juga ikut menangis, tetapi bukannya ayah mencoba mendiamkan aku, ayah malah marah dan membentak aku dan menyuruh masuk kamar dan menyuruhku tidur. Karena ketakutan aku pergi meninggalkan mereka lalu pergi tidur, ketika bangun pagi, aku seperti lupa akan apa yang terjadi tadi malam, aku bangun seperti biasanya. Kalau tidak salah ingat pada saat itu usiaku antara 3 – 4 tahun.
Ketika bangun pagi, ayah mengajakku untuk melihat jaring yang telah dipasang di danau toba. Mencari ikan atau menjadi nelayan adalah pencaharian utama keluargaku sambil menunggu masa panen bawang merah tiba. Setelah pulang dari danau, ikan yang didapat dipilah antara yang gemuk dan yang kurus, ikan yang gemuk dijual dan yang kuruslah yang dimakan. Jika banyak ikan yang kurus maka ikan tersebut akan dimasak lalu diberi tepung untuk mengawetkannya. Ikan yang diberi tepung jagung disebut Dekke Na Hona Sorbukan yang artinya ikan yang ditepungi. Sehingga jika masa pendapatan ikan sedikit kami ikan yang telah diawetkan dengan tepung tersebut. Setelah menjual hasil tangkapan, kami diajak ke ladang untuk mempersiapkan lahan untuk menanam bawang merah. Dan setiap musim tanam, ayah dan mama selalu bilang bahwa bawang merah kami tanam tersebut adalah kepunyaan saya. Dan jika sudah selesai bertanam, mama  membuat lampet (semakam makanan yang dibuat dari tepung beras dan gula pasir) lalu lampet tersebut akan kami bawa keladang. Di ladang kami mengadakan ritual minta berkah pada penunggu ladang, satu pohul (segenggam) lampet  diletakkan disalah satu sudut ladang dan sebatang rorok akan dibakar disana, guna persembahan bagi penunggu ladang, dengan harapan bahwa bawang merah yang kami tanam dapat berbuah banyak pada saat panen nanti.
 Ada satu kejadian yang pada masa itu, aku anggap ayahku hebat, pada saat kami dalam perjalanan menuju ke ladang di tengah jalan ada burung pipit dan anaknya yang belajar terbang, ketika kami lewat anak burung pipit yang belajar terbang itu terbang tepat mengarah pada ayahku dan ayahku menangkapnya dengan satu tangan. Aku melihat kejadian itu, sangat kagum dengan ayah karena ayah bisa tangkap burung dengan satu tangan, dalam benakku berkata “ Wah hebat banget ayahku.” Meskipun kita tahu bahwa burung yang lagi belajar terbang pasti gampang ditangkap apalagi terbangnya tepat menuju kita, tapi itulah pengalamanku dengan ayahku, ada suka ada duka.
Sejauh yang bisa saya ingat pada masa itu, wisatawan asing, sangat banyak sekali mengunjungi danau toba, dan turis yang berkunjung kesana sangat senang sekali bisa kita menyapa mereka. Ketika saya berumur 3 atau 4 tahun, saya mendengar hal tersebut dari mama, mama bilang nanti kalau ada turis datang bilang ‘’Hallo mister..” pasti kamu akan diberi uang. Keesesok harinya saya melihat sepasang turis sedang menikmati pemandangan lalu aku hampiri dan kusapa “ Hallo mister….” Lalu turis itu menjawab “hello…” sambil memasukkan tangan kedalam sakunya. Ketika turis itu memasukkan tangannya kesaku aku sangat senang aku berharap mendapat uang Dollar, dia mengeluarkan tangannya dari sakunya dan mengulurkannya padaku dan aku pun menyambutnya dengan senang, eh ternyata dia hanya memberiku permen. Sejujurnya, aku sangat senang pada masa itu meskipun aku tidak memperoleh uang. Beberapa hari kemudian, aku melihat turis yang lain, lalu aku meyapa mereka, dengan harapan akan diberi permen, ternyata pada saat aku diberi uang, aku tidak ingat uang itu dollar atau rupiah bahkan berapa nilainya pun aku gak tak ingat, maklum anak – anak pada jaman dulu tidak begitu hafal dengan nilai uang berbeda dengan anak saat ini.
Hal lain yang jelas melekat diingatanku adalah ketika ada wisatawan yang kehilangan kacamata dari mobil mereka, salah satu dari temanku mengaku bahwa dia melihat aku mengambil kacamata tersebut dan berkata dengan pasti bahwa aku yang mencurinya, sehingga aku dipanggil dan diinterogasi. Berkali – kali aku berkata bahwa aku tidak mencuri kacamata tersebut, tapi mereka malah berkata “katakana saja dimana kamu meyembunyikannya, kami tidak akan marah…” Apa yang harus aku jawab, aku tidak mencurinya, manalah aku tahu dimana kacamata tersebut. Lalu aku pulang dan memberitahukan perkara tersebut kepada mama tapi mama juga bilang hal yang serupa yaitu aku harus memberitahukan dimana kacamata itu aku sembunyikan. Tidak lama berselang aku dipanggil lagi bersama dengan temanku yang mengaku bahwa dia melihat aku mencuri kacamata tersebut, lalu mereka menanyai kami lagi, aku tetap bersikukuh bahwa aku tidak mencuri kacamata itu, dan temanku juga bertahan dengan pendapatnya. Sehingga wisatawan tersebut, mulai mengancam jika kacamata itu tidak kembali maka dia akan melaporkan kami ke polisi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya bisa menangis, mungkin karena ketakutan, temanku berkata bahwa dia melihat aku menyembunyikan kacamata tersebut di bawah kolong rumah kami. Kami diajak kerumah dan dia disuruh menunjukkan dimana letak kacamata itu. Kamipun berangkat kerumahku dan dia mengambil kacamata itu dari bawah kolong rumahku, setelah dia memberikannya kepada sang pemiliknya dia membenarkan pendapatnya sendiri. Yang mengherankan buat saya pada saat itu, setelah temanku itu mengembalikan kacamata itu, aku malah diajak kearah mobilnya dan diberi uang. Entah bagaimana kelanjutannya dengan temanku tersebut, aku sendiri tidak ingat karena setelah aku diberi uang aku langsung pulang, dirumah aku mendapati mama sedang duduk ditangga, kalau tidak salah mama lagi nangis karena anaknya dituduh mencuri, namun setelah aku pulang dan membawa uang, mama tampak ceria kembali.
Rumah yang kami diami, terletak kurang lebih 50 meter dari jalan raya Tomok menuju Pangururan, posisi rumah kami membelakangi jalan raya, disamping rumah ada jalan kampung. Rumah tersebut bukanlah rumah kami sendiri, tetapi kami menumpang pada rumah orang, bentuk dari rumah itu sangat tradisional, berbentuk rumah panggung dengan jumlah tangga yang ganjil, dan pintu yang rendah sehingga ketika kita akan masuk kerumah, kita harus menundukkan kepala, jika kita berdiri tegak maka kepala kita akan terantuk. Rumah sengaja didesain agar setiap yang bertamu memberi hormat terlebih dahulu, sebelum masuk ke dalam rumah. Dibawah kolong rumah biasanya di gunakan sebagai kandang ternak seperti kerbau, kambing dan babi. Seingat saya, kami mempunyai kerbau dan juga kambing biri – biri (Domba), tapi saya tidak tahu pasti berapa jumlah kerbau dan kambing tersebut.      Tanah yang kami usahakan juga bukanlah tanah kami tetapi tanah sewaan, tanah tersebut kami tanami dengan dengan bawang merah. Hal yang masih melekat diingatanku, ayah dulu membuatkan untukku dan adikku cangkul kecil yang akan kamu gunakan untuk mencangkul.
Di belakang rumah kami terdapat pohon beringin yang sangat besar. Menurut para leluhur, pohon beringin di belakang rumah adalah sebagai pertanda bagi keluarga maupun pendatang.  Jumlah Pohon beringin tersebut adalah jumlah keluarga yang meninggal dari keturunan mereka, tapi saya tidak begitu paasti tentang khabar tersebut. Karena di kampung tersebut tidak ada WC umum maupun WC pribadi, maka lokasi tempat untuk buang hajat adalah dibawah pohon beringin tersebut. Jika buang hajat jangan lupa membawa tongkat, karena ketika berangkat menuju pohon beringin tersebut, babi yang melihat kita, akan mengikuti kita. Begitu kita ambil posisi jongkok, babi itu langsung ambil posisi siaga dibelakang kita menunggu kotoran yang keluar untuk dimakan, pada saat itulah tongkat tersebut berfungsi, yaitu untuk menjauhkan babi tersebut dari kita sebelum kita selesai melaksanakan niat kita. Sebab jika kita tidak membawa tongkat, maka begitu kotoran kita keluar babi itu langsung menyerobotnya, kalau babinya cuma satu ekor masih lumayan, tapi bila babinya ada lebih dari satu, babi – babi itu akan bertengkar untuk mendapatkannya. Pastinya kita tidak mau dong kalau mereka bertengkar dan rebutan tepat di belakang kita, jangan – jangan malah kita yang digigit. Tongkat adalah senjata untuk menjauhkan anda dari kekacauan pada saat menunaikan niat anda yang sudah tak terbendung lagi.
Dibelakang rumah kami juga terdapat banyak pohon mangga besar – besar, pohon mangga tersebut bukan milik kami, jadi jika ingin menikmati manisnya buah mangga, saya harus bangun pagi – pagi sekali sebelum yang punya kebun mangga bangun, saya dan teman – teman bangun pagi untuk mencari buah mangga yang berjatuhan pada malam hari. Kegiatan ini, kami lakukan setiap hari bahkan terkadang, kami langsung memanjat pohon mangga tersebut atau jika kami tidak bisa memanjat maka kami mengambilnya dengan cari melempari buah mangga yang sudah matang hingga jatuh.        
Ketika masih kecil, saya sudah ikut sekolah minggu, saya termasuk orang yang rajin hadir meski belum paham dengan lagu yang kami nyanyikan tetapi tetap semangat untuk beribadah. Masih sangat jelas dalam ingatan saya ketika pertama sekali saya mengikuti pembacaan liturgi pada perayaan natal di gereja Katolik Sinuan Rautbosi. Kami disuruh oleh guru sekolah minggu untuk membuat obor dari bamboo untuk dibawa dalam acara pawai menuju gereja. Saya sangat bersemangat sekali pada saat itu, sangkin semangatnya saya, saya sampai kecapekan dan tertidur setelah mengikuti ibadah natal beberapa menit. Ketika tiba masanya untuk liturgy pertama, saya dibangunkan oleh mama dan disuruh maju kedepan untuk mengucapkan liturgiku. Lalu saya maju dan mengucapkan liturgiku, kembali kepada mama dan melanjutkan tidur yang tertunda. Saya menduduki kursi sekolah pada tahun 1990, atau kira kira berumur 5.5 tahun, tapi saya menduduki kursi sekolah tersebut hanya 3 bulan atau 1 caturwulan saja karena kami pindah dari Pulau Samosir. 

to be Continued


Selanjutnya kami tinggal dan menetap di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau.  Sekarang Semua telah berubah, Ayah bertobat, bibi menjadi orang yang menyenangkan, kami sudah besar serta punya keturunan. We are Happy Family Now. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANDROID “PERUSAK” MASA DEPAN

Smart People, jagalah anak kita dengan segala kewaspadaan yang kita miliki. Karena existensi kita ditentukan oleh keturunan kita (anak...