ISI KURIKULUM PAK DALAM PERJANJIAN LAMA
Menjadi
sebuah hal yang menarik adalah ketika muncul sebuah pertanyaan, seberapa
pentingkah Perjanjian Lama dalam ruang lingkup Pendidikan Agama Kristen (PAK)?
Mungkin pertanyaan ini kita anggap sambil lalu, atau tidak terlalu penting,
atau memang kita belum mengetahuinya. Mungkin ada yang mengatakan bahwa
Perjanjian Lama (PL) tidak terlalu penting karena PL sudah berlalu dan sudah
digenapi oleh Perjanjian Baru (PB), atau PB telah menjelaskan tentang
pendidikan kekristenan.
Apabila
kita mempelajari dengan baik, Yesus Kristus menggunakan PL dalam mengajar di
pelayanan-Nya (Mat.5:21-22; 22:39)? Para murid Yesus juga menggunakan PL dalam
pelayanan (pemberitaan Injil)? Ternyata PL menjadi hal penting dalam membangun
konsep dan pelaksanaan PAK. Pada topik ini, saya tidak menggunakan kata “PAK
dalam Perjanjian Lama”, tetapi saya lebih menggunakan kata “PL dalam PAK”. Ya,
karena bukan PAK yang ada dalam Perjanjian Lama, tetapi Perjanjian Lama-lah
yang ada dalam PAK. Dengan kata lain, hal yang hendak dimaksudkan adalah PL
digunakan dalam membangun dan membentuk PAK. Tentunya hal ini dilandasi bahwa
PAK lahir setelah PL, walaupun dalam perspektif lain diungkapkan bahwa
kekristenan sudah ada dalam PL. Michelle Anthony mengomentari pentingnya dasar
Alkitab dalam pendidikan anak karena Allah berkehendak menyediakan petunjuk
tentang bagaimana memperhatikan serta memelihara anak. Baik Perjanjian Lama
maupun Perjanjian Baru memberikan penjelasan mengenai perhatian terhadap
kebutuhan fisik, emosi maupun kerohanian anak.
A. Bangsa Yahudi
Bangsa
yang penuh misteri, kecil tapi kuat, sedikit tapi menyebar ke seluruh dunia,
menyebar tapi kemurniannya terjaga, kadang tidak bertanah air dan tak punya
raja, tapi selalu menonjol dan memberi pengaruh kuat kepada dunia. Dianiaya,
tapi bertahan bahkan berkelimpahan. Bangsa yang memiliki identitas yang kuat.
B. Agama Yahudi
Penganut
agama Yudaisme yang mementingkan ketaatan kepada Hukum Agama agar dijalankan
dengan penuh ketekunan. Kemurnian pengajarannya dijaga dari generasi ke
generasi berikutnya untuk memberi dasar yang teguh bagi setiap tingkah laku dan
tindakan. Hukum agama sering diaplikasikan secara harafiah.
C. Budaya Yahudi
Yang
paling mengesankan dalam budaya Yahudi adalah perhatiannya pada pendidikan.
Pendidikan menjadi bagian yang paling utama dan terpenting dalam budaya Yahudi.
Semua bidang budaya diarahkan untuk menjadi tempat dimana mereka mendidik
generasi muda, yang kelak akan memberi pengaruh yang besar. Obyek utama dalam
pendidikan mereka adalah mempelajari Hukum Taurat.
PRINSIP
PENDIDIKAN DALAM PERJANJIAN LAMA
a. Prinsip-prinsip yang
Dipegang oleh Bangsa Yahudi
1. Seluruh kebenaran
adalah kebenaran Allah.
Kej.
1:1 -- Segala sesuatu telah dijadikan oleh Allah dengan tujuan supaya manusia
mengenal Allah dan berhubungan dengan-Nya. Cara Allah menyatakan diri adalah
dengan:
- Wahyu Umum: Supaya orang
menyadari dan mengakui keberadaan Allah melalui alam, sejarah, hati nurani
manusia.
- Wahyu Khusus: Supaya
manusia menerima keselamatan dari Allah. Allah berinkarnasi menjadi manusia
dalam diri Yesus Kristus.
2. Menurut konsep Yahudi
tidak ada perbedaan nilai antara duniawi dan rohani, semuanya ada dalam wilayah
Tuhan. Itu sebabnya orang Yahudi percaya bahwa "seluruh hidup adalah suci".
3. Pendidikan berpusatkan
pada Allah.
Fokus
utama dalam pendidikan Yahudi adalah: Yehova (Hab. 2:10 -- kegagalan campur
tangan Allah adalah kegagalan bangsa.) Bagi anak Yahudi tidak ada buku lain
yang memiliki keharusan untuk dipelajari selain Alkitab (Taurat) untuk menjadi
pegangan dan pelajaran tentang Allah dan karya-Nya
4. Pendidikan adalah
kegiatan utama dan diintegrasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam
Kitab Talmud dikatakan kalau ingin menghancurkan bangsa Yahudi, kita harus
membinasakan guru-gurunya. Bangsa Yahudi adalah bangsa pertama yang memiliki
sistem pendidikan Nasional (Ula. 6:4-9) Pendidikan mereka tidak hanya secara
teori, tetapi menjadi kegiatan sehari-hari dalam cara hidup dan keagamaannya.
Contoh: Kitab Imamat yang mengajarkan semua tata cara hidup dan beragama.
b. Tempat Pendidikan Anak
Bangsa Yahudi
Pendidikan
anak Yahudi bermula di rumah. Berpangkal dari peranan seorang ibu Yahudi. Tugas
kewajiban ibu adalah untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga yang juga
terkait erat dengan tugas rohani mendidik anak-anaknya, khususnya ketika masih
balita. Jauh- jauh hari sebelum anak berhubungan dengan dunia luar, anak
terlebih dahulu mendapat pendidikan dari ibunya sehingga sesudah menginjak usia
remaja/pemuda ia sudah mempunyai dasar yang benar. Contoh: Melalui
cerita-cerita sejarah bangsa dan hari-hari peringatan/besar.
ISI
KURIKULUM PENDIDIKAN MENURUT ULANGAN 6:4-9
Ulangan
6:4-9 menjadi pusat pengajaran pendidikan agama Kristen. Kitab kitab lain yang
membahas tentang pendidikan bersumber dari kitab Ulangan ini.
1. Ayat 4
("Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa!")
Ayat
ini disebut "Shema" atau pengakuan iman orang Yahudi (agama Yudaisme)
yang artinya "Dengarlah". Yesus menyebut ayat ini sebagai hukum yang pertama
-- prinsip iman dan ketaatan. Memberikan konsep Allah yang paling akurat, jelas
dan pendek Tuhan adalah unik, lain dengan yang lain. Dia Allah yang hidup, yang
benar dan yang sempurna. Tidak ada Allah yang lain, hanya satu Allah saja. Ayat
4 ini bersamaan dengan ayat 5 diucapkan sedikitnya dua kali sehari oleh orang
Yahudi dewasa laki-laki. Ayat ini diucapkan bersamaan dengan Ula. 11:13-21 dan
Bil. 15:37-41.
2. Ayat 5 ("Kasihilah
Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu.")
Kasih
harus menjadi motif setiap hubungan manusia dengan Tuhan. Kasih disebutkan
pertama karena disanalah terletak pikiran, emosi, dan kehendak manusia. Tugas
yang Tuhan berikan untuk manusia lakukan adalah kasihilah Allah Tuhanmu. Musa
mengajarkan Israel untuk takut, tapi kasih lebih dalam dari takut.
-
Mengasihi Tuhan artinya memilih Dia untuk
suatu hubungan intim dan dengan senang hati menaati perintah-perintah-Nya.
-
Mengasihi dengan hati yang tulus, bukan
hanya di mulut tapi juga dalam tindakan.
-
Mengasihi dengan seluruh kekuatan, memiliki
semuanya.
-
Mengasihi dengan kasih yang terbaik, tidak
ada yang melebihi kasih kita kepada Dia, sehingga kita takluk kepada Dia.
-
Mengasihi dengan seluruh akal
budi/pengertian, karena kita kenal Dia maka kita mengasihi dan mentaati
perintah-Nya.
3. Ayat 6 ("Apa yang
Kuperintahkan kepadamu hari ini haruslah engkau perhatikan.")
Perintah
Tuhan bukanlah untuk didengar dengan telinga saja, tapi juga dengan hati yang
taat. Sebelum bertindak pikirkanlah lebih dahulu perintah Tuhan, maka hidupmu
akan selamat.
4. Ayat 7 ("Haruslah
engkau mengajarkan berulang-ulang "kepada anakmu" membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan,
apabila engkau bangun.")
Mereka
yang mengasihi Allah, mengasihi Firman-Nya dan melakukannya dengan meditasi,
bertanggung jawab untuk merenungkannya dan menyimpannya dalam hati untuk
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua mempunyai tugas untuk
mengajarkan Firman-Nya kepada anak-anak dengan didikan dan harus dimulai sejak
dini dan berulang-ulang. Ayat 7 ini dipakai sebagai fondasi kurikulum
pendidikan Kristen.
5. Ayat 8-9
("Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan
haruslah itu menjadi lambang dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada
tiang pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.")
Tulisan
hukum-hukum belum menjadi milik umum, namun demikian, Allah menghendaki mereka
melakukannya, supaya mereka terbiasa bergaul dengan hukum Allah. Orang Yahudi
mengerti perintah ini dan melakukannya secara harafiah.
Mereka mengenal 3
tanda-tanda untuk mengingat hukum Allah:
a. Zizth: Dipakai/dipasang
pada ujung jubah Iman (Bil. 15:37-41)
b. Mezna: Kotak kecil yang
berisi Ul 6:4-9 diletakkan di sebelah kanan pintu
c. Tephillin: Dua kotak
kecil berbentuk kubus masing-masing dari kertas perkamen yang ditulis dengan
tangan secara khusus berisi 4 ayat yaitu, Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16,
Ulangan 6:4-9, dan Ulangan 11:18-21. Satu diikatkan di tangan kiri dan satu di
dahi.
Tanda-tanda
ini dipakai pada saat sembahyang di luar hari Sabat. Tanda-tanda ini sangat
indah sebagai peringatan akan kehadiran Allah di rumah dan akhirnya
dipraktekkan untuk mengusir setan. Tanda-tanda simbolik ini dibuat supaya
penekanan pemahaman ayat itu menjadi nyata sehingga pengajaran itu akan
berlangsung terus- menerus.
PENERAPAN
PENDIDIKAN KRISTEN PERJANJIAN LAMA DALAM ERA MODERN
Bagi
orang Israel, pendidikan -- khususnya pendidikan rohani -- merupakan bagian
integral dari perjanjian antara Allah dengan umat-Nya. Ulangan 6:4 memuat
"Shema", yaitu doa yang diucapkan dua kali sehari, setiap pagi dan
petang dalam ibadah di sinagoge. Ayat ini amat penting karena merupakan
pengakuan iman yang sangat tegas akan Tuhan (Yahweh) sebagai satu-satunya Allah
yang layak disembah:
"Dengarlah, hai orang
Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!" (Ulangan 6:4)
Pernyataan ini kemudian
langsung dilanjutkan dengan perintah rangkap untuk mengasihi Tuhan dengan
segenap hati, jiwa, dan kekuatan mereka (ayat 5), menaruh perintah itu dalam
hati (ayat 6), mengajarkannya kepada anak-anak mereka secara berulang-ulang
(ayat 7), mengikatkannya sebagai tanda pada tangan dan dahi (ayat 8), dan
menuliskannya di pintu rumah dan gerbang (ayat 9).
Orang
Israel menafsirkan perintah-perintah tersebut secara harafiah dengan membuat
"tali sembahyang" yang diikatkan di dahi atau lengan dan berisi empat
naskah, salah satunya adalah Ulangan 6:4-9 di atas. Ketiga naskah lainnya
diambil dari Keluaran 13:1-10, Keluaran 13:11-16, dan Ulangan 11:18-21. Di
dalam keempat naskah tersebut, kewajiban untuk mengajarkan hukum dan
pengetahuan tentang Allah kepada anak-anak mendapat penekanan yang besar. Hal
ini menunjukkan besarnya hubungan antara pendidikan rohani dalam rumah tangga
dengan ketaatan kepada Allah.
Era
modern mengubah cara pandang para pendidik Kristen dalam mendidik anak.
Toleransi tinggi dan keleluasaan tidak terbatas cenderung menjadi gaya
pendidikan saat ini. Sebenarnya justru dalam era modern sekarang, pendidik
Kristen harus menerapkan beberapa prinsip dalam Perjanjian Lama yang lebih
disiplin dalam hal pendidikan anak.
1.
Tanggung jawab pendidikan Kristen
pertama-tama dan terutama terletak pada orang tua, yaitu ayah dan ibu (Amsal
1:8). Banyak keluarga Kristen masa kini yang menyerahkan pendidikan rohani anak
mereka sepenuhnya pada gereja atau sekolah minggu. Mereka beranggapan bahwa
gereja atau sekolah minggu tentunya memiliki "staf profesional" yang
lebih handal dalam menangani pendidikan rohani anak mereka. Namun, mereka lupa
bahwa lama waktu perjumpaan antara anak mereka dengan pendeta, pastor, gembala,
guru sekolah minggu, atau pembimbing rohani anak yang hanya beberapa jam dalam
seminggu, yang tentunya terlalu singkat untuk mengajarkan betapa luas dan
dalamnya pengetahuan tentang Allah. Satu hal lain yang terpenting adalah Allah
sendiri telah meletakkan tugas untuk merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak
ke dalam tangan orang tua. Merekalah yang harus mempersiapkan anak-anak mereka
agar hidup berkenan kepada Allah. Gereja dan sekolah minggu hanya membantu
dalam proses pendidikan tersebut.
2.
Tujuan utama pendidikan Kristen adalah untuk
mengajar anak-anak takut akan Tuhan, hidup menurut jalan-Nya, mengasihi-Nya,
dan melayani-Nya dengan segenap hati dan jiwa mereka (Ulangan 10:12). Berlainan
dengan pendidikan oleh dunia yang bertujuan untuk menciptakan generasi muda
yang penuh ambisi untuk sukses, mandiri, dan percaya pada kekuatan diri
sendiri, pendidikan Kristen mendidik anak-anak untuk memiliki sikap
mementingkan Tuhan di atas segala-galanya, taat pada Tuhan, dan bergantung pada
kekuatan Tuhan untuk terus berkarya. Nilai-nilai yang penting dalam pendidikan
Kristen adalah kasih, ketaatan, kerendahan hati, dan kesediaan untuk ditegur.
3.
Orang tua yang baik mendidik anaknya dengan
teguran dan hajaran dalam kasih (Amsal 6:23). Ada teori pendidikan modern yang
menyarankan agar orang tua jangan pernah menyakiti anak-anak mereka, baik
secara fisik maupun secara verbal, atau melalui kata-kata karena hal tersebut
dapat menimbulkan kebencian dan dendam pada orang tua dalam diri anak-anak.
Teori ini menganjurkan orang tua untuk membangun anak-anaknya hanya melalui
pujian dan dorongan. Hal ini bertentangan dengan kebenaran Alkitab yang
mengatakan bahwa teguran dan hajaran juga dapat mendidik anak sama efektifnya
dengan pujian dan dorongan, selama semuanya dilakukan dalam kasih.
4.
Pendidikan Kristen harus dilakukan secara
terus-menerus melalui kata-kata, sikap, dan perbuatan (Ulangan 6:7). Kata
bahasa Ibrani yang dipakai dalam ayat ini adalah "shinnantam", yang
berasal dari akar kata "shanan" yang berarti mengasah atau
menajamkan, biasanya pedang atau anak panah. Kata ini dipakai sebagai simbol
untuk menggambarkan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang seperti orang
mengasah sesuatu dengan tujuan untuk menajamkannya. Orang tua tidak dapat hanya
mengandalkan khotbah atau pelajaran Alkitab setiap hari Minggu untuk memberi
"makanan rohani" bagi anak-anak mereka. Orang tua harus secara rutin
dan dalam segala kesempatan menyampaikan kebenaran firman Tuhan kepada anak-anak
mereka. Lebih jauh lagi, orang tua harus menjadi teladan yang baik bagi
anak-anak mereka, bukan hanya melalui perkataan, tapi juga perbuatan.
Tanggung
jawab pendidikan Kristen memang bukan tugas yang mudah, baik bagi bangsa Israel
pada zaman Perjanjian Lama maupun bagi kita pada zaman sekarang. Setiap zaman
memiliki kesulitan dan pergumulan masing-masing, namun prinsip-prinsip dasar
pendidikan Kristen yang Alkitabiah tetap bertahan di tengah berbagai teori
pendidikan baru yang muncul. Jika orang Israel menafsirkan Keluaran 13:9 atau
Ulangan 6:8 secara harafiah dengan mengikatkan tali sembahyang pada lengan dan
dahi mereka,
"Hal itu bagimu harus
menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu, supaya hukum
TUHAN ada di bibirmu;" (Keluaran 13:9a)
maka saat ini kita yang
sudah mengerti makna sesungguhnya dari perintah ini harus senantiasa
merenungkannya dalam pemikiran kita, mengatakannya setiap hari, dan
melakukannya dengan segenap kemampuan tangan kita.
Pendidikan
adalah pemberdayaan potensi yang dimiliki oleh pendidik dan orangtua untuk
menemukan dan memberdayakan potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Untuk
itu, upaya-upaya yang perlu dilaksanakan adalah:
1.
Pemulihan para pendidik (orangtua dan guru).
Hal ini diperlukan karena orangtua atau guru yang melakukan kekerasan terhadap
anak, kemungkinan besar ia pun mengalami kekerasan pada masa kanak-kanaknya.
2.
Jangan mendisiplinkan didik pada saat sedang
marah, sibuk, stress, tegang, atau bermasalah dengan hal-hal yang lain, karena
dapat berakibat fatal bagi anak.
3.
Orangtua dan guru harus menyadari bahwa
mereka dipanggil oleh untuk melayani melalui perhatian, pengajaran dan
keteladanan yang diberikan kepada anak.
4.
Kerja sama dengan organisasi-organisasi
non-gereja untuk membekali guru dan orangtua agar dapat melaksanakan tanggung
jawabnya dengan baik.
5.
Penginjilan dan pembimbingan rohani yang
dilaksanakan oleh sekolah kepada murid dan guru.
6.
Pelaksanaan peraturan.
-
Peraturan yang dimiliki oleh sekolah harus
dijelaskan kepada orangtua dan siswa ketika siswa baru memasuki sekolah.
-
Disiplin dilaksanakan secara konsisten
berdasarkan keteladanan dan peraturan yang jelas.
-
Sanksi diberikan sesuai dengan tingkat
pelanggaran, tingkat perkembangan anak secara psikologis, daya tahan fisik
anak, kesanggupan anak untuk menerimanya, dan tujuan dari pemberian sanksi.
-
Memperhatikan penampilan/cara berpakaian dan
model pakaian yang digunaka sebagai seragam.
7. Proses belajar
mengajar.
a. Menumbuhkan
niat belajar anak dengan cara memotivasi dan memberikan semangat kepada anak.
b. Menjalin
rasa simpati/empati dan saling pengertian untuk menumbuhkan kepedulian social,
toleransi, dan saling menghargai antara guru dan murid serta antara murid
dengan murid.
c. Menciptakan
suasana riang, tanpa ada tekanan.
d. Memberikan
motivasi untuk bangkit apabila anak mengalami kegagalan.
e. Mengembangkan
rasa saling memiliki untuk membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan, dan
dukungan belajar.
f. Menunjukkan
teladan yang baik.
Daftar
Pustaka
1.
Assegaf, Abd.Rahman, Pendidikan Tanpa
Kekerasan: Tipologi Kondisi, Kasus, dan Konsep, Yogyakarta: Tirta Wacana Yogya,
2004.
2.
Anthony Michelle, Christian Education, 2001.
3.
Boehlke, Robert R., Sejarah Perkembangan
Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen dari Plato sampai Ig. Loyola,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.
4.
Daniel Agung Kurniawan Budilaksono,
Penerapan Pendidikan Kristen Perjanjian Lama dalam Era Modern, http://
pepak.sabda.org/pustaka/050919/?kata=perjanjian+lama.
5.
Peniel Maiaweng, Pendidikan Anti Kekerasan:
Perspektif Teologis-Padeigogi, www.oase online.org.
6.
Yulia Oeniyati, Silabus PAK Anak,
http://www.sabda.org/pepak/pustaka/050836/.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar