Kamis, 31 Januari 2019

Reflection


Nama : Mangadar Christian Sihaloho,A.Md.,S.Pd.,M.Pd©
MK      : Managemen And Christian Leadership
Major   : Pendidikan Agama Kristen
Lecturer: Dr. Fransiskus Irwan Widjaja
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI REAL BATAM

Goal : A Reflection
Setelah 5 (lima) hari mengikuti perkuliahan tentang kepemimpinan, banyak hal yang telah diperoleh tetapi tidak kalah banyak juga dengan yang masih menjadi tanda Tanya, yaitu apakah semuanya itu dapat diaplikasikan kelak dalam masa kepemimpinan saya? Bagaimana caranya? Dalam perkuliahan ini semua tampak seakan gampang sekali dilakukan. Berkorban keluarga, harta, waktu, karir, dan bahkan berkorban perasaan juga. Masa 16 (enam belas) tahun, yang telah disampaikan, telah dilalui, terus berusaha dan berjuang, terus berkorban dan berharap, terus belajar dan meng-up grade pengetahuan, terus menanam dan menanam lagi, hingga waktunya tiba. Di dalam kelas, waktu selama itu dapat diceritakan dalam waktu beberapa hari, pada kenyataannya, berada dalam posisi itu bukalah hal yang gampang, bukan setiap orang dapat melaluinya dengan survive, banyak yang gagal, tumbang, layu, bahkan undur, tetapi adalah sebuah anugerah terindah bisa melaluinya, hingga dapat diceritakan kepada kami.
Goal atau tujuan telah ditetapkan dan terus diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman, agar tidak terlindas oleh perkembangan jaman itu sendiri. Banyak orang yang telah menetapkan goalnya, semangat menjalani dan mengejar goal tersebut dan berharap goal akan mendekat segera, bahkan banyak yang berharap mencapai goal tanpa mau bersusah paya mencapainya, ada yang berjuang dengan sangat  luarbiasanya diawal tetapi sudah merasa lelah pada tanjakan pertama, dan undur pada tanjakan yang kedua, namun tetap berharap untuk mendapat piala.
Saya pernah mendengar sebuah FORMULA TUJUAN yang disingkat dengan kata “SMART”, dimana :
S = Specific                 Tujuan haruslah mengandung APA, KAPAN, SIAPA, DIMANA, DAN BAGAIMANA;
M = Measurable          Harus terukur baik secara kuantitas, kualitas, bahkan dalam hal biaya (cost);
A = Attainable            Harus disusun cukup tinggi namun masih dapat dicapaiberdasarkan komparasi dan usaha;
R = Realistic               Harus realistic dan masuk diakal dalam hal manfaat, kepraktisan, SDM/A, keuangan dan control terhadap variable yang mempengaruhi pencapaian;
T = Timely                   Harus berdasarkan data yang akurat dan dan waktu yang sesuai.

            Sebagai seseorang yang masih terus berjuang guna mencapai goal dalam kehidupan ini, saya berharap dapat menerapka formula tersebut dan menjalani semua dengan pertolongan Tuhan dan dengan bantuan dari orang – orang yang telah ditempatkan berada di sekelilingku, apakah itu dosen, rekan mahasiswa, rekan kerja, pimpinan, nasabah, isteri dan anak – anak, keluarga besar, rekan – rekan sepelayanan dalam ladang Tuhan, bahkan orang – orang yang diijinkan menjadi ujian bagiku dan bagi kepemimpinanku, guna mencapai rencana-Nya dalam hidupku, yaitu MEMULIAKAN NAMA YESUS.
            Akhir kata dari refleksi harian ini adalah saya siap menjadi bagian dalam penerapan system: PENGOPTIMALAN 20% UNTUK MELAKUKAN 80% GUNA MENDAPATKAN 100% PENCAPAIAN. 

PENDERITAAN ORANG BENAR


PENDERITAAN ORANG BENAR
Mangadar,A.Md.,S.Pd.,M.Pd(C) 



PENDAHULUAN
Kitab Ayub (bahasa Ibrani: איוב, Standar Iyyov Tiberias ʾIyyôḇ; bahasa Arab: أيّوب, ʾAyyūb; bahasa Inggris: Book of Job) adalah salah satu kitab dalam Tanakh) yang juga merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Kitab ini merupakan yang pertama dalam kumpulan kitab-kitab syair (= nyanyian atau puisi). Nama Ayub atau Yob ("Yobe") berarti Permusuhan dalam bahasa Ibrani.[1]
Sejumlah faktor menunjukkan bahwa cerita ini mungkin sekali terjadi pada abad ke-20 sampai ke-18 SM, yaitu pada zaman Abraham:[2]
·         Tidak ada penyebutan tentang "Israel" maupun hukum Taurat
·         Usia Ayub yang panjang: lebih dari 140 tahun (42:16)
·         Ayub bertindak sebagai imam untuk keluarganya (1:5), suatu hal yang dilarang menurut hukum Taurat.
·         Kekayaan Ayub diukur dengan ternak (1:3)
Sejumlah bukti mengarah kepada masa pemerintahan Salomo, yaitu zaman keemasan sastra Israel:[3]
·         Penyebutan alat-alat dan senjata dari besi (19:2420:2440:18)
·         Pertambangan besi (28:2), menunjuk kepada Zaman Besi, setelah tahun 1200 SM
·         Gambaran tentang kuda perang (39:19-25), yang digunakan paling awal sekitar abad ke-10 SM
·         Adanya kutipan ayat Alkitab dari zaman Salomo, yaitu ayat 7:17-18 dengan Mazmur 8:4; ayat 28:28 dengan Amsal 3:7; 9:10.
Negeri di mana Ayub tinggal, Us, terletak di sebelah timur Kanaan, dekat dengan perbatasan yang memisahkan sisi barat dan sisi timur dari daerah Bulan Sabit yang Subur (Fertile Crescent). Di wilayah itu terdapat banyak kota, peternakan dan kelompok-kelompok pengembara. Orang itu saleh dan jujur, tidak mengacu kepada kesempurnaan tanpa dosa (bdg. pengakuan Ayub akan dosa-dosanya; mis.: 7:20; 13:26; 14:16 dst.), tetapi kejujuran atau integritas yang terus terang, terutama kesetiaan kepada perjanjian (bdg. Kej. 17:1, 2). Terdapat sebuah keselarasan yang nyata di antara apa yang diakui Ayub dengan perilaku hidupnya, sangat bertentangan dengan kemunafikan yang dituduhkan kepadanya oleh Iblis dan kemudian juga oleh rekan-rekannya. Ia takut akan Allah. Di dalam Perjanjian Lama "takut akan Tuhan" merupakan nama dari agama yang sejati. Kesalehan Ayub merupakan hasil komitmen yang sungguh-sungguh kepada Tuhannya, yaitu Tuhan yang dihadapan-Nya Ayub hidup dengan hormat, dengan menolak dengan tegas apa yang Ia larang.[4]
John Hick sebagaimana dikutip A.A. Yewangoe memahami penderitaan sebagai keadaan mental, keadaan pikiran yang sangat mengharapkan atau tergila-gila bahwa situasi adalah sebaliknya, kemampuan untuk membayangkan alternatif-alternatifnya dan (dalam diri manusia) kesadaran moral.[5]
Kita harus mengakui bahwa masalah penderitaan adalah nyata dan kompleks. Alkitab sendiri menggunakaan banyak kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan ide ini, misalnya, kesusahan, kesedihan, kesulitan, tekanan, kesakitan, masalah dan kesengsaraan.
Kompleksitas ini terlihat dalam bentuk-bentuknya, yaitu:
1. Dari segi targetnya : individual, komunitas, negara, regional atau keseluruhan manusia.
2. Dari segi caranya mempengaruhi manusia : secara fisik maupun secara nonfisik.
Penderitaan secara fisik terutama mempengaruhi tubuh orang atau komunitas, contohnya penyakit fisik, ketidakmampuan fisik, kelaparan, kehausan, penyakit dan kematian. Penderitaan nonfisik terutama mempengaruhi  keberadaan batiniah manusia secara intelektual, secara emosional, secara psikologis maupun secara spiritual. Hal itu dinyatakan konflik, kecemasan, depresi, kekecewaan, ketertinggalan, rasa malu, rasa bersalah dan selanjutnya. Namun, tipe penderitaan ini secara dekat dihubungkan karena manusia terdiri dari baik dimensi fisik maupun nonfisik.
3. Dari segi tingkat intensitasnya : bisa ditarik mulai dari penderitaan pribadi yang kecil sampai penderitaan regional atau global yang hebat yang disebabkan oleh kemiskinan, kebutahurufan, mati kelaparan, polusi lingkungan, penyakit alami, tekanan, perang, terorisme dan AIDS.[6]
Kesetiaan kepada Allah tidaklah menjamin kebebasan dari kesulitan, penyakit, dan penderitaan dalam kehidupan orang percaya. Alkitab memberikan banyak contoh dari orang saleh yang mengalami penderitaan cukup hebat karena berbagai alasan misalnya Yusuf, Daud, Yeremia, dan Paulus.
Ada berbagai alasan mengapa orang percaya menderita.
1.      Orang percaya mengalami penderitaan sebagai kelanjutan dampak kejatuhan Adam dan Hawa. Ketika dosa memasuki dunia, penyakit, kesusahan, pertikaian, dan akhirnya kematian memasuki kehidupan semua manusia (Kej 3:16-19). Paulus menegaskan hal ini, "Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa"
  1. Beberapa orang percaya menderita karena alasan yang sama dengan orang yang tidak percaya, yaitu sebagai akibat perbuatan mereka sendiri. Prinsip "orang menuai apa yang ditaburnya" (Gal 6:7) secara umum berlaku untuk semua orang. Jikalau kita mengemudikan mobil dengan sembarangan, kita bisa terkena kecelakaan hebat. Jikalau kita tidak berdisiplin dalam kebiasaan makan, kita mungkin sekali akan mengalami masalah kesehatan yang serius. Allah mungkin mempergunakan penderitaan semacam ini sebagai sarana mendisiplin sehingga kita dapat menghasilkan "buah kebenaran yang memberikan damai" (Ibr 12:3-11;
  2. Orang percaya juga menderita, setidak-tidaknya batin mereka, karena mereka hidup di dalam dunia yang berdosa dan jahat. Di sekeliling kita terdapat dampak dosa: kita mengalami kesusahan dan kesedihan ketika menyaksikan kejahatan menguasai kehidupan begitu banyak orang (Yeh 9:4Kis 17:16);
  3. Orang percaya menderita oleh Iblis.
    1. Alkitab menjelaskan bahwa Iblis, selaku "ilah zaman ini" (2Kor 4:4), menguasai dunia jahat ini.
    2. Iblis dan sekutunya senang menganiaya orang percaya. Orang yang mengasihi Tuhan Yesus dan menaati prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan- Nya akan dianiaya karena iman mereka. Sebenarnya, penderitaan semacam itu karena kebenaran bisa menunjukkan pengabdian sejati kita kepada Kristus (Mat 5:10);
  4. Secara lebih positif, alasan lain orang percaya menderita ialah karena "kami memiliki pikiran Kristus" Menjadi orang Kristen berarti berada di dalam Kristus, manunggal dengan Dia; karena itu kita mengambil bagian dalam penderitaan-Nya(1Pet 2:21).

Semua orang tahu bahwa penderitaan itu tidak menyenangkan, tetapi semua orang tidak mau tahu bahwa penderitaan adalah hal yang wajar dalam kehidupan. Sukacita terbesar adalah kegembiraan karena terlepas dari masalah. Tanpa penderitaan kita tidak mengerti rasanya kelegaan. Kita mengalami sakit supaya tahu nikmatnya kesehatan. Tetapi bagaimana jika kita terpaksa menderita karena kesalahan orang lain ? Ini penderitaan yang tidak adil !
Mengapa? Mengapa Tuhan? Mengapa saya harus mengalami semua ini? Apa dosa saya? Pertanyaan serupa sering kita dengar, bahkan mungkin keluar dari mulut kita sendiri, ketika seseorang atau kita mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan dalam hidup -- sakit yang tak kunjung sembuh, masalah yang datang bertubi-tubi, gagal dalam pekerjaan, ditinggal orang yang dikasihi, dan sebagainya.
Benarkah setiap penderitaan merupakan akibat dari dosa? Jawabannya, tentu tidak. Memang, dosa pasti akan menghasilkan kesengsaraan, tetapi penderitaan yang dialami seseorang belum tentu karena ia telah berbuat dosa. Ayub adalah contoh nyata bahwa orang saleh pun bisa menderita. Tentang Ayub, Allah berfirman, "...Sebab tiada seorangpun di bumi ini seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:8b). Namun, apa yang terjadi pada Ayub? Dalam sekejap ia kehilangan segala-galanya -- harta benda, kesepuluh anaknya, dan kesehatannya.
Mengapa Ayub yang saleh harus menderita sedahsyat itu? Ada beberapa jawaban tentang tujuan penderitaan dalam kitab Ayub. Menurut Iblis, penderitaan merupakan alat untuk memaksa manusia menyangkal Allah. Iblis beranggapan bahwa kesalehan Ayub selama ini karena Tuhan selalu memberkatinya. Oleh karena itu, Iblis mencobai Ayub melalui berbagai penderitaan dengan tujuan meruntuhkan iman Ayub kepada Allah. Menurut ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad, Zofar), penderitaan selalu merupakan hukuman karena dosa. Pendapat ini tidak dibenarkan oleh Allah (Ayub 4:7-8).
Menurut Ayub, pada mulanya, penderitaan adalah untuk orang jahat, bukan orang benar. Kemudian, Ayub berpendapat bahwa penderitaan merupakan proses Allah untuk menghasilkan seorang yang bersifat emas (Ayub 23:10). Ayub sendiri kemudian mengaku, "Hanya dari kata orang saja aku mengenal Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau" (Ayub 42:5). Ternyata, justru melalui penderitaan yang dialami, Ayub mengenal Allah lebih dalam lagi (Knowing God better through adversity).
Bagaimana menurut Allah? Tuhan sendiri bukan sebagai penyebab Ayub menderita, tetapi Ia mengizinkannya terjadi. Agak aneh ketika Allah menjawab Ayub, Ia tidak menyinggung masalah penderitaan Ayub. Yang penting adalah respons Ayub, bukan sebab mengapa Ayub menderita. Ayub bukan menderita karena dosanya, tetapi janganlah Ayub berdosa dalam penderitaannya. Penderitaan adalah panggilan untuk tetap percaya dan berserah meskipun kita tidak mengerti. Allah adalah adil, berdaulat, dan setia -- apa pun yang terjadi.
Penulis kitab Ayub benar-benar penulis ahli. Dia memberikan narasi di pasal pertama dan kedua bagaikan seorang sutradara yang menceritakan sinopsis film yang sedang dibuatnya, ia buru-buru menurunkan irama menjadi bentuk dialog yang lebih natural. Tirai diturunkan, dan ketika dinaikkan lagi, kita hanya melihat para aktor di panggung, yang terkurung dalam drama itu, tidak memiliki pengetahuan sudut pandang "serba tahu" yang kita nikmati di antara penonton. Walaupun kita sudah tahu jawaaban dari pertanyaan "siapa pelakunya," detektif yang menjadi peran utama itu tidak. Sejak awal, Ayub yang tidak menyadari akan skenario yang bergulir di surga, terjebak dalam bahan-bahan drama. Ia menghabiskan waktunya di panggung berusaha untuk menemukan apa yang sudah kita ketahui sebagai penonton. Ia menggaruk-garuk dirinya dengan sekeping beling dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pedas itu, pertanyaan yang sama dengan yang diajukan hapir semua orang dalam penderitaan besar. Mengapa saya ? Kesalahan apa yang saya lakukan ? Apa yang ingin Tuhan katakan pada saya ?
Bagi penonton, pertanyaan Ayub tentang siapa pelakunya hanyalah bahan perdebatan di panggung, karena kita sudah tahu jawabannya. Apa kesalahan Ayub ? Tidak ada. Tuhan sendiri menyebut Ayub "demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
Mengapa Ayub menderita ? Kita tahu sebelumnya bahwa ia bukan dihukum. Jauh dari itu, ia dipilih sebagai subyek utama dalam pertandingan besar di surga. Ayub mewakili yang terbaik dari spesiesnya, dan Tuhan menggunakannnya untuk membuktikan pada iblis bahwa iman manusia bisa tulus dan tidak mementingkan diri sendiri, tidak tergantung pada anugerah - anugerah yang baik dari Tuhan.
Kontes jagat raya semacam itu menyodorkan masalahnya sendiri tentu saja, tetapi itu adalah masalah yang berbeda yang dipergumulkan kebanyakan orang ketika penderitaan yang tidak terduga melanda.
Dengan mengijinkan kita mengintip ke belakang layar, penulis kitab Ayub menghilangkan semua unsur ketegangan naratif, kecuali satu: misteri tentang bagaimana respon Ayub. Singkatnya, hanya pertanyaan tentang imannya yang belum terjawab. Ini adalah bukti kejeniusan kitab ini, dan yang menjadi petunjuk mengapa kisah ini bisa bertahan sebagai karya literatur, karena kita bisa melupakan pasal 1 dan 2, dan ikut terhanyut dalam kesengsaraan pribadi Ayub. Ia bergulat dengan penderitaan yang tidak terbayangkan dengan kekuatan sedemikian sampai, sepanjang kitab ini, pertanyaannya menjadi pertanyaan kita.
Dalam ucapan-ucapannya, Ayub mengajukan setiap contoh ketidakadilan di dunia yang bisa ia temukan. Mereka dari kita yang tahu seluruh kisahnya, terutama akhirnya, bisa melewatkan dampak kata-kata sengsara itu. Orang tidak akan menduga bisa menemukan argumen-argumen dari penentang Tuhan yang terbesar terselip di tengah Alkitab. Namun justru itulah karakteristik Perjanjian Lama. Seperti yang dikatakan Wiliam Safire, "Kitab Ayub menyenangkan mereka yang tidak menghormati Tuhan, memuaskan para penghujat, dan memberikan sedikitnya penghiburan pada orang-orang sesat. "
Sampai batas tertentu, bisa dikatakan Ayub harus memainkan kembali ujian pertama di taman Eden, dengan taruhan yang ditingkatkan. Adam dan Hawa yang hidup di firdaus menghadapi skenario kasus terburuk untuk mempercayai Tuhan, yang hanya meminta begitu sedikit dari mereka dan menghujani mereka dengan berkat. Dalam neraka hidup Ayub menghadapi skenario terburuk. Tuhan meminta begitu banyak, sementara kutuk menghujani diri Ayub.
Pertandingan antara Iblis dan Tuhan bukan soal remeh. Tuduhan Iblis bahwa Ayub mengasihi Tuhan karena "Engkau telah membuat pagar sekeliling dia," menjadi sebuah serangan pada karakter Tuhan. Itu menyiratkan bahwa Tuhan tidak pantas dikasihi karena DiriNya sendiri, bahwa orang-orang mau mengikut Tuhan hanya karena ada keuntungannya bagi mereka, atau "disuap" untuk berbuat demikian. Dalam pandandan iblis, Tuhan menyerupai politis yang hanya bisa menang dengan politik uang, atau seorang mafioso dengan :"perempuan simpanan" dan bukan istri yang setia.
Respon Ayub, setelah semua perlengkapan iman disingkirkan, akan membuktikan atau menyanggah tantangan iblis. Sebagai orang kaya, Ayub akan rugi besar jika Tuhan berhenti memberkatinya. Apakah ia masih akan terus mempercayai Tuhan, bahkan setelah ia kehilangan semuanya ?
Walaupun Ayub mungkin bisa membantu kita menyusun pertanyaan - pertanyaan tentang penderitaan yang tidak adil dan dimanakah Tuhan ketika hal itu terjadi namun inti kitab ini bukan di sana. Kitab ini tidak memberikan jawaban untuk masalah penderitaan karena prolognya sudah mengibaskan isu itu. Tuhan tidak diadili dalam kitab ini melainkan Ayub yang sedang diuji. Intinya adalah iman: Di mana Ayub ? Bagaimana responnya ?
Semakin saya mempelajari Ayub, semakin saya menyadari saya selalu membaca kitab ini dari sudut pandang pasal 3 dan seterusnya. Saya perlu mundur, dan mempertimbangkan pesan Ayub sejak dari pasal pertama. Di sana saya menemukan plot intinya : manusia terbaik di dunia menderita bencana paling mengerikan, yang menjadi ujian iman dalam bentuk paling ekstrim.
Dalam pasal-pasal pembukaan kitab Ayub, Iblis mengungkapkan dirinya sebagai psikolog perilaku besar pertama. Ayub terkondisi untuk mengasihi Tuhan, katanya. Ambil semua upah positif itu, dan lihat bagaimana imannya runtuh. Ayub, yang tidak sadar dan sama sekali ditutup matanya, ditempatkan sebagai protagonis utama dalam ujian pertarungan ksatria tunggal terbesar sepanjang masa.

KESIMPULAN
Tuhan tidak memberitahu Ayub tentang pertarungan kosmos yang telah melibatkan Ayub di luar kehendaknya, karena mengijinkan Ayub melihat ke belakang layar akan mengubah aturan pertandingan yang sedang berlangsung. Tuhan juga tidak menunjukkan simpati sedikit pun pada kondisi fisik dan emosional Ayub. Justru sebaliknya, Tuhan menempatkan posisi Ayub sebagai tertuduh, memberondongnya dengan keras dan dari sana melanjutkan sampai Ayub tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dengan kata lain, mendadak saja Tuhan mengembalikan Ayub ke kursi terdakwa.
Pesan Tuhan, yang diungkapkan dalam puisi yang amat indah, intinya adalah seperti ini: Sampai kau tahu sedikit lebih banyak tentang cara menjalankan alam semesta fisik, Ayub, jangan memberitahu Aku bagaimana caranya menjalankan alam semesta. Dengan menggambarkan keajaiban alam, terutama menikmati keliarannya, Tuhan memberi petunjuk tentang betapa keterbatasan kodrati dalam hukum alam, dan tentang pilihanNya untuk tidak campur tangan.
Tuhan hanya mengritik Ayub dalam satu hal, keterbatasan sudut pandangnya. Ayub telah mendasarkan penilaiannya pada bukti-bukti yang tidak lengkap - wawasan yang bagi kita di antara penonton sudah diketahui sejak semula.



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Ayub
[2] Nelson's Complete Book of Bible Maps and Charts. Thomas Nelson, Inc. 1996. ISBN 0-7852-1154-3
[3] The Nelson Study Bible. Thomas Nelson, Inc. 1997
[4] http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Ayub+1%3A1
[5] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004, hlm. 13

[6] S. Boonyakiat, “Suffering” in Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Karkkainen (Ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 858

ISU – ISU KRITIS PAK MASA KINI : NARSISISME


ISU – ISU KRITIS PAK MASA KINI : NARSISISME
Mangadar,A.Md.,S.Pd., M.Pd(C) 


Pendahuluan
Narsisisme (dari bahasa Inggris) atau narsisme (dari bahasa Belanda) adalah perasaan cinta terhadap diri sendiri yang berlebihan. Orang yang mengalami gejala ini disebut narsisis (narcissist). Istilah ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narkissos (versi bahasa Latin: Narcissus), yang dikutuk sehingga ia mencintai bayangannya sendiri di kolam. Ia sangat terpengaruh oleh rasa cinta akan dirinya sendiri dan tanpa sengaja menjulurkan tangannya hingga tenggelam dan akhirnya tumbuh bunga yang sampai sekarang disebut bunga narsis.[1]
Sifat narsisisme ada dalam setiap manusia sejak lahir[2], bahkan Andrew Morrison berpendapat bahwa dimilikinya sifat narsisisme dalam jumlah yang cukup akan membuat seseorang memiliki persepsi yang seimbang antara kebutuhannya dalam hubungannya dengan orang lain[3]. Selain itu, seseorang dengan sifat narsis yang berlebihan memiliki kecenderungan untuk meninggikan dirinya di hadapan orang lain, menjaga harga dirinya dengan merendahkan orang lain saat orang lain memiliki kemampuan atau hal yang lebih baik darinya, bahkan tidak segan untuk mengasingkan orang lain untuk memperoleh kemenangan.[4]
Narsisme menurut “The US National Library of Medicine” adalah seseorang memiliki rasa kepercayaan diri berlebihan, keseruan dengan diri sendiri dan tidak memiliki empati terhadap orang lain. Orang yang menderita narsisme biasanya emosi yang sangat tidak stabil.[5]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Narsisme adalah : 1 hal (keadaan) mencintai diri sendiri secara berlebihan; 2 hal (keadaan) mempunyai kecenderungan (ke inginan) seksual dng diri sendiri[6]
Penyebab Narsisme
Menurut Lam (2012) nasisme berasal dari konsep diri dan rasa percaya diri, rasa percaya diri tersebut diaktualisasikan melalui perilaku seperti percaya diri sebagai individu yang unik, memiliki intelegensi yang lebih, dan memiliki potensi lebih dari orang lain sehingga cenderung tidak menerima diri sendiri karena berperilaku secara berlebihan dari kemampuan serta keadaan yang sebenarnya. Kompensasi narsistik cenderung negatif, pencarian untuk meniadakan perasaan mendalam mengenai inferioriti dan berusaha untuk menciptakan suatu ilusi menjadi individu yang berkuasa dan luar biasa. Narsisme menjadikan individu berada pada suatu kondisi yang bermasalah secara regresif menggunakan dirinya sendiri, bukan orang lain sebagai objek cinta karena narsisme menjadi individu cenderung mencintai dirinya sendiri.[7]
Menurut Sadarjoen (2003) yang mengutip Mitchell JJ dalam bukunya,The Natural Limitations of Youth, ada lima penyebab kemunculan narsis pada remaja, yaitu adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus, kurang bisa berempati sama orang lain, sulit memberikan kasih sayang, belum punya kontrol moral yang kuat, dan kurang rasional. Kedua aspek terakhir inilah yang paling kuat memicu narsisme yang berefek gawat.[8]
Beberapa orang mengatakan, kejadian saat masa kecil bisa menjadi salah satu penyebab narsisme, seperti ekspetasi yang terlalu tinggi, sering dimanja, ditelantarkan dan pelecehan. Mungkin diantara penderita narsis belajar untuk memanipulasi perilaku dari orang tua mereka atau anggota keluarga sejak kecil.Beberapa ahli mengatakan narsisme bisa disebabkan oleh hubungan genetik dan juga cara berpikir otak dalam bereaksi terhadap rangsangan dari lingkungan. Jika seorang anak dibesarkan dipaksa untuk melakukan seluruh hal dengan perfeksionis, nantinya mereka akan menjadi individu yang tidak peka untuk mengetahui perasaan dan kebutuhan orang lain.[9]
Beberapa penulis, termasuk Kohut (1971, 1977), percaya bahwa gangguan kepribadian narsistik muncul dari kegagalan meniru empati dari orang tua pada masa perkembangan awal anak. Akibatnya, anak tetap terfiksasi di tahap perkembangan grandiose[10]. Selain itu, anak (dan kelak setelah dewasa) menjadi terlibat dalam pencarian, yang tak berkunjung dan tanpa hasil, figur ideal yang dianggapnya dapat memenuhi kebutuhan empatinya, yang tak pernah terpenuhi.Banyak teori yang berbeda tentang faktor kebetulan yang terkait di dalam perkembangan penyakit kepribadian narsistik telah dikemukakan, dan masing-masing mempunyai penyokong yang kuat. Di sisi yang lain, ahli teori psikodinamik yang berpengaruh seperti Heinz Kohut setuju bahwa semua anak yang melewati fase primitif grandiositi selama apa yang mereka pikirkan tentang semua kejadian dan kebutuhan berputar di sekeliling mereka. Untuk perkembangan normal diluar fase yang terjadi, menurut pandangan ini, orang tua harus melakukan suatu pencerminan terhadap anak. Ini membantu anak mengembangkan tingkat kepercayaan diri yang normal dan perasaan harga diri guna menopang di kehidupan mereka, ketika realita hidup mereka diumbar untuk membesarkan. Kohut dan Kernberg (1978) mengemukakan lebih jauh bahwa kelainan kepribadian narsistik lebih mungkin berkembang jika orang tua lalai, menghilangkan nilai, atau tidak berempati kepada anak; individu ini akan terus menerus mencari penegasan dari sebuah pengidealan dan perasaan megah terhadap diri. Walaupun teori ini telah menjadi sangat berpengaruh di antara dokter-dokter klinik psikodinamik, sayangnya ini mempunyai sedikit dukungan empiris.Dari sebuah pendirian teoritis yang sangat berbeda, Theodore Millon mempunyai argument yang sangat berbeda. Dia percaya bahwa kelainan kepribadian narsistik datang dari penilaian berlebihan orang tua yang tidak realistis (Millon & Davis, 1995; Widiger & Bornstein, 2001). Seperti contoh, dia telah mengemukakan bahwa “orang tua memanjakan dan menurutkan permintaan anak-anaknya dalam cara mendidik mereka bahwa keinginan mereka adalah sebuah perintah, bahwa mereka dapat menerima tanpa harus mengembalikannya, dan bahwa mereka pantas menjadi seseorang yang menonjol bahkan tanpa perjuangan yang minim” (Millo, 1981, p.175; dari Widiger & Trull, 1993). Ahli teori itu dari dua tradisi yang berbeda (psikodinamik dan pelajaran sosial) dapat menjadi semacam kesimpulan yang berlawanan yang mengilustrasikan kekurangan saat ini dari pengetahuan empiris mengenai bagian terdahulu dari kelainan semacam ini.[11]
Jenis Narsisme
Narsisme Terbuka (Overt Narcissism) dan Narsisme Tertutup (Covert Narcissism)[12]
Psikiater Amerika James F. Masterson, mengemukakan dua jenis narsisisme patologis, yaitu, terang-terangan dan tertutup. Gangguan kepribadian ini juga disebut sebagai narsisme nyata dan rahasia. Kata ‘nyata’ berarti sesuatu yang mudah dilihat, sesuatu yang tidak tersembunyi. Di sisi lain, kata ‘rahasia’ berarti sesuatu yang tidak mudah untuk dilihat, sesuatu yang bersifat rahasia atau tersembunyi. Nama-nama itu sendiri menunjukkan kepribadian yang dimiliki narsisis terbuka dan rahasia. Narsisme terbuka sering diamati pada orang-orang ekstrovert, sedangkan narsisme tertutup bisa dikenali pada orang-orang introvert. Mari kita cari tahu lebih banyak tentang kedua jenis gangguan ini.
Narsisme Terbuka
·         Narsisme jenis ini lebih mudah ditemukan pada kebanyakan orang. Cirinya seperti perilaku yang suka pamer, menuntut perhatian, dan mudah tersinggung terhadap setiap kritik bersifat nyata atau imajiner.
·         Narsisme jenis ini memiliki ciri kepribadian terlalu percaya berlebihan, bahwa mereka berhak untuk mencapai keberhasilan yang luar biasa. Mereka tak segan menuntut segala sesuatu pada skala megah. Mereka juga memiliki ambisi yang kuat tentang segala hal.
·         Tipe kepribadian ini mungkin memiliki hubungan yang renggang atau tidak pernah bertahan lama. Alasan utamanya adalah mereka selalu membayangkan diri mereka selalu lebih baik daripada orang lain. Meskipun mereka terkadang menunjukkan kerendahan hati, tapi sebenarnya mereka kekurangan empati terhadap orang lain. Mereka benar-benar tidak dapat berpartisipasi dalam kelompok.
·         Karakteristik positif dari narsisme terbuka adalah mereka adalah tipe orang-orang pekerja keras. Namun, sebagian besar waktu, kerja keras yang dilakukan hanya demi mencari penghargaan orang. Mereka juga dapat dikenali lewat sifatnya yang sibuk menilai penampilan seseorang.
·         Berharap untuk dikenal sebagai sosok yang superior, bahkan tanpa memiliki prestasi atau pencapaian yang mendukung.
·         Narsisis ekstrovert mencari jalan pintas untuk memperoleh pengetahuan mereka. Selain itu, mereka sangat mendominasi dan memiliki pendapat mereka sendiri. Mereka mengartikulasikan pendapat mereka setiap kali mereka mendapatkan kesempatan. Mereka dianggap memiliki persepsi yang sangat egosentris.
Narsisme Terselubung
·         Meskipun narsisis terselubung atau rahasia disebut pemalu, tapi kepribadian mereka mirip dengan narsisis terbuka. Tapi, hanya saja mereka kurang percaya diri.
·         Sebaliknya, mereka penuh dengan keraguan diri dan malu. Meskipun mereka sebenarnya lapar untuk kekuasaan dan kemuliaan, tapi mereka tidak percaya diri untuk mencapainya. Mereka juga sensitif terhadap kritik.
·         Mereka menderita rasa iri terus-menerus dengan harta orang lain, bakat, hubungan, dll. Tapi, kecemburuan ini lebih banyak disimpannya dalam hati.
·         Mereka tak punya arah dan tujuan jelas, karena itu selalu merasa bosan dalam kesendiriannya. Narsisis tertutup ini mudah bosan dengan apapun yang mereka lakukan. Tak jarang, hal ini menyebabkan dirinya tak mampu meraih sebuah prestasi.
·         Jenis kepribadian ini menderita kebohongan patologis kronis. Akar dari semua kebohongan itu bersumber dari rasa malu, sifat meragukan diri, dan dorongan untuk menyembunyikan diri dari orang lain. Bahkan meski mereka tidak menunjukkan, tapi jauh didalam pikirannya, mereka mencintai gaya hidup materialistis.
·         Kepribadian narsisis introvert memiliki ketidakmampuan untuk benar-benar terhubung dengan orang-orang. Sejauh ini, sikap acuh tak acuhnya berfungsi sebagai mekanisme defensif dari orang-orang. Beberapa narsisis introvert terlalu berfokus pada pekerjaan, teknologi, jaringan sosial, kelompok kecil, buku, game, fantasi, atau usaha lain untuk meminimalkan interaksi dengan orang lain. Cara ini juga dapat membantu mereka menyembunyikan persona diri mereka.
Narsisme Individu dan Narsisme Kelompok
Menurut Muhammad Alwi [13]Narsisme itu berlaku pada individu juga pada kelompok. Erich Fromm mengatakan Narsisisme jenis ini meletakkan kelompok sebagai obyek Narsisisme-nya.Individu narsistik dapat sepenuhnya menyadari narsisismenya, dan mengungkapkannya tanpa hambatan apa pun dengan kelompoknya. Kelompok akan menerima sepenuhnya ungkapan narsistik individu tersebut, bahkan dianggap sebagai bagian dari kesetiaan terhadap kelompok. 
Kelompok narsistik ini biasanya membangun kenyataan berdasarkan konsensus yang dibangun, bukan pemikiran atau pengkajian kritis. Narsisisme kelompok berguna dalam meningkatkan solidaritas kelompok, dan memberikan kepuasan bagi para anggota kelompok terutama dalam hal kepercayaan diri.
Sekalipun dia tidak merupakan bagian penting dalam kelompok, tapi ia merasa bangga diri, bahkan sangat bangga dengan berani dan siap mengorbankan apa saja demi kelompok, untuk kelompok.  Karena disana mereka memiliki semacam kompensasi dari dirinya menjadi kelompok. Lihatlah para supporter sepak bola, supporter salah satu partai dst. Mereka siap bentrok bahkan mempertaruhkan dirinya.
Narsisme kelompok itu menjalari semua anggotanya. Disinilah munculnya fanatisme, militansi kelompok sebagai hasil dari narsisme kelompok. Sama halnya dengan narsisisme individu, narsisisme kelompok ini mudah bereaksi keras terhadap segala bentuk pelecehan kelompoknya.
Dalam konteks Indonesia, kita bisa dengan mudah menemukan narsisisme kelompok ini diterapkan lewat kelompok-kelompok radikal. Lewat ciri khas fanatisme yang menonjol, serta menganggap kelompoknya sebagai paling benar berdasarkan konsensus internal. Kelompok Takfiri (yang mudah menyatakan kelompok lain sesat, kafir dst), dan kelompok ekstrem lainnya merupakan contoh dari narsisisme kelompok ini. Narcisme bisa masuk dalam narcisme kelompok bila perilakunya adalah menganggap hanya dirinya yang benar dan yang lain tidak ada apa-apanya.

Teknologi dan Narsisme
            Perkembangan teknologi tidak dapat kita bending walau dengan alasan apapun. Tekonologi hanyalah perangkat yang dibuat guna mempermudah kita manusia dalam menjalankan kegiatan kita. Kita yang menggunakan tekonologi adalah yang paling berperan penting dan bertanggungjawab atas pengunaannya. Kita tidak dapat menyalahkan perangkat atas apa yang telah kita lakukan dengan perangkat tersebut, sehingga bijak dalam memilih perangkat yang cocok, dewasa dalam berpikir, bertindak hati – hati, dan tetap waspada adalah tindakan yang dibutuhkan dalam mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat timbul sebagai akibat dari penggunaan teknologi.   
Kemajuan teknologi dan pengembangan situs jejaring sosial yang sangat populer, seperti Facebook, mengubah cara menghabiskan waktu luang kita dengan berkomunikasi. Saat ini, ada hampir 936 juta pengguna Facebook aktif setiap hari di seluruh dunia. Kecanduan internet adalah daerah baru studi dalam kesehatan mental dan penelitian cross-sectional terbaru. Hasil penelitian terbru menunjukkan bahwa kecanduan Facebook sangat terkait dengan perilaku narsis dan rendah diri[14]

Narsisme dalam dunia pendidikan
Jika kita melihat atau merujuk kepada penyebab dari muncul atau timbulnya rasa narsis, maka dengan perkembangan zaman yang terus melaju dengan kencang, dimana kebanyakan orangtua tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk bisa menghabiskan waktu bersama dengan anak – anaknya, maka sangat besar kemungkinan perilaku narsis atau rasa narsis akan berkembang pesat dalam lingkungan keluarga.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa keluarga adalah dasar atau awal mula dari pendidikan itu sendiri, sehingga apabila narsis itu telah mulai muncul dalam lingkungan keluarga, maka sangat mungkin hal tersebut juga akan terbawa sampai ke dalam dunia pendidikan. Guru Pendidikan Agama Kristen perlu memperhatikan gejala – gejala yang timbul, yang memiliki kecenderungan mengarah kepada perilaku narsis.
Kebijakan pemerintah yang menghapuskan istilah “Sekolah Berstandar Internasional” merupakan suatu tindakan pencegahan dini terhadap semakin maraknya sekolah yang dengan terang – terangan merendahkan sekolah yang lain, yang hanya berstandar nasional atau mungkin non standar alias siapa saja bisa belajar disana. Kepekaan pemerintah terhadap isu tersebut sangat patut untuk diapresiasi.
”Membangun pendidikan yang setara internasional tidak harus mencantumkan label bertaraf internasional. Sistem pendidikan di dalamnya juga berdampak mengurangi pembangunan jati diri nasional,” kata hakim konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa, 8 Januari 2013.[15] Ini adalah sepenggal tanggapan tentang pemberian label dalam dunia pendidikan.
Pemberian “label” kepada siswa, sekolah, atau institusi dapat berpengaruh kepada anak didik, diantaranya: anak yang sekolah di sekolah yang berlabel “Sekolah Berstandar Internasional”(SBI) akan merasa lebih hebat dari anak yang sekolah di sekolah biasa, bagi anak yang bersekolah di sekolah biasa akan merasa rendah diri jika bertemu dengan temannya yang bersekolah di sekolah SBI. Sementara kita semua tahu bahwa perbedaan yang paling jelas dari semua itu bukanlah ilmu yang mereka dapat, tetapi besarnya biaya yang mereka keluarkan.
Disinilah peranan kita sebagai pengajar atau pendidik dibutuhkan, kita harus bisa menjelaskan kepada anak didik kita bahwa dunia nyata tidaklah seindah masa – masa sekolah. Label sekolah tidaklah berpengaruh signifikan terhadap mereka setelah mereka tamat sekolah, tetapi bagaimana mereka memandang hidup, bagaimana mereka memaknai hidup, bagaimana mereka menjalani hidup, bagaimana mereka hidup dengan orang lain, serta bagaimana mereka menghidupi hidup, itu lebih penting. 
Ojanen (2012) dalam penelitiannya menyatakan adanya hubungan antara narsisme, temperamen, agresi fisik, dan agresi relasional antar teman sebaya pada remaja. Narsisme memicu munculnya perilaku agresi fisik pada laki-laki, serta agresi fisik dan relasional pada laki-laki dan perempuan.[16]  Dalam dunia pendidikan, kita sering, melihat, mendengar atau mungkin pernah merasakan perilaku agresi (menyerang) terutama dalam pendidikan menengah (SMP dan SMA/K) yang terlihat dari aksi bully, pembentukan geng dalam kelas atau pembentukan geng sekolah, yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa mereka berkuasa dan berusaha menguasai teman – temannya atau orang lain. Di televisi singapura, iklan “Stop Bullying” sering ditayangkan guna mendegredasi perilaku narsis baik dimasyarakat luas maupun dalam dunia pendidikan.
Menurut Kernan (Santrock, 1980: 220) “penampilan diri terutama di hadapan teman-teman sebaya merupakan petunjuk yang kuat dari minat remaja dalam sosialisasi”. Remaja mengaktualisasikan minatnya terhadap penampilan diri secara berlebihan memiliki kecenderungan narsis, namun biasanya memiliki permasalahan dengan kepercayaan diri. [17] Berdasarkan pengalaman penulis, orang yang paling sering narsis, atau yang paling sering menonjolkan keberadaannya adalah mereka – mereka yang memiliki permasalahan, entah itu masalah pribadi, keluarga, ataupun masalah dalam masyarakat. Mereka berusaha untuk tetap mendapat perhatian dengan melakukan apa yang menurut mereka dapat menjadi perhatian banyak orang, tetapi sayangnya kebanyakan dari mereka melakukan hal yang salah. Dalam dunia pendidikan, kita sering mendengar bahwa “ada dua tipe siswa yang dikenal dan diingat oleh guru, yaitu siswa yang pintar dan siswa yang nakal / bodoh”, sehingga tidak heran bila ada siswa yang mencoba mengaktualisasikan dirinya dengan berbuat sesuatu yang menggangu dalam kelas.
Cakupan narsisme lebih luas tidak hanya dipandang dari segi gaya hidup, dan finansial, tetapi juga kekuasaan, prestasi, fisik dan penampilan. Individu yang mempunyai kecenderungan narsisme lebih tertarik dengan hal yang hanya menyangkut dengan kesenangan pribadi. Hal ini juga memberikan pengaruh cukup besar dalam pergaulan sehar-hari dan biasanya tidak memiliki kepedulian terhadap perasaan orang lain. [18]

Penanganan Narsisme  
Jenis terapi yang dapat membantu untuk gangguan kepribadian narsistik meliputi:[19]
§       Terapi perilaku kognitif. Secara umum, terapi perilaku kognitif membantu Anda mengidentifikasi  keyakinan dan perilaku negatif (tidak sehat) dan menggantinya dengan yang sehat dan  positif.
§       Terapi Keluarga. Terapi keluarga biasanya membawa seluruh keluarga bersama-sama dalam sesi terapi. Anda dan keluarga Anda mengeksplorasi konflik, komunikasi dan pemecahan masalah untuk membantu mengatasi masalah dalam hubungan antar anggota keluarga
§       Terapi Kelompok . Terapi kelompok, di mana Anda bertemu dengan sekelompok orang dengan kondisi serupa, mungkin dapat membantu dengan mengajar Anda untuk berhubungan baik dengan orang lain. Ini mungkin cara yang baik untuk belajar tentang  mendengarkan orang lain, belajar tentang perasaan mereka dan menawarkan dukungan.



Kesimpulan
Bagi kebanyakan orang Narsisme adalah hal yang lumrah atau biasa saja tetapi berdasarkan apa yang telah dibahas diatas, kita dapat membaca bahwa narsis itu memiliki dampak yang tidak baik bagi pelakunya maupun bagi orang yang berada di sekelilingnya.
Peranan orangtua serta keterlibatan pendidik dan dengan bantuan dokter atau pun psikiater  sangat dibutuhkan agar perilaku narsis yang sedang terjadi pada saat ini tidak bergerak terlalu bebas sehingga kebablasan.
Orangtua sebagai pribadi yang terkait langsung dengan pertumbuhan anak, perlu mengetahui dan memahami setiap perubahan yang terjadi pada anak, sehingga dapat sedini mungkin meminta bantuan kepada yang dapat membantu mengatasi atau menangani perilaku tersebut.
Pendidik sebagai pribadi yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga menjadi pribadi yang mampu mentransfer kehidupan kepada anak didik agar anak didik mampu menghidupi hidup yang mereka hidupi saat ini. Keberadaan guru bimbingan konseling sangat berperan penting dalam penanganan perilaku narsis di sekolah.
Psikiater sebagai pribadi yang menangani masalah kejiwaan juga diharapkan dapat menemukan cara – cara yang lebih efektif untuk mengantisipasi serta menghindari timbulnya gejala narsis pada anak. Dengan mengadakan seminar terbuka atau seminar umum bagi orangtua dan anak di sekolah – sekolah akan sangat membantu dalam mengedukasi serta mengkampanyekan penanganan perilaku narsis.    




[1] Ann M. King, Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale . 2010 . Abnormal Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc. ISBN 978-0-470-43314-0
[2] Freud, Sigmund. 1914. On Narcissism: An Introduction.
[3] Morrison, Andrew. 1997. Shame: The Underside of Narcissism. The Analytic Press. ISBN 0-88163-280-5
[4] Ann M. King, Sheri L. Johnson, Gerald C. Davison, John M. Neale . 2010 . Abnormal Psychology, 11th Edition . John Wiley & Sons, Inc. ISBN 978-0-470-43314-0
[6] KBBI Offlin 1.5

[7] Wida Widiyanti, M. Solehuddin, Aas Saomah Indonesian Journal Of Educational Counseling  Volume 1, No. 1, Januari 2017: Page 15-26  ISSN 2541-2779 (print)  ISSN 2541-2787 (online)
[10] Grandiose = perasaan megah, besar diri,
[15] https://m.tempo.co/read/news/2013/01/08/079452878/mk-bubarkan-sekolah-bertaraf-internasional
[16] Ojanen, T., Findley, D., & Fuller, S. (2012). Physical and relational aggression in early adolescence: Associations with narcissism, temperament, and social goals. Aggressive behavior, 38(2), 99-107.
[17] Santrock, J. W. (1980). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga.
[18] Wida Widiyanti, M. Solehuddin, Aas Saomah Indonesian Journal Of Educational Counseling  Volume 1, No. 1, Januari 2017: Page 15-26  ISSN 2541-2779 (print)  ISSN 2541-2787 (online)
[19] http://terapipsikologi.com/?cara-ampuh-mengobati-gangguan-kepribadian-narsistik,54

ANDROID “PERUSAK” MASA DEPAN

Smart People, jagalah anak kita dengan segala kewaspadaan yang kita miliki. Karena existensi kita ditentukan oleh keturunan kita (anak...