Kamis, 31 Januari 2019

PENDERITAAN ORANG BENAR


PENDERITAAN ORANG BENAR
Mangadar,A.Md.,S.Pd.,M.Pd(C) 



PENDAHULUAN
Kitab Ayub (bahasa Ibrani: איוב, Standar Iyyov Tiberias ʾIyyôḇ; bahasa Arab: أيّوب, ʾAyyūb; bahasa Inggris: Book of Job) adalah salah satu kitab dalam Tanakh) yang juga merupakan bagian dari Perjanjian Lama. Kitab ini merupakan yang pertama dalam kumpulan kitab-kitab syair (= nyanyian atau puisi). Nama Ayub atau Yob ("Yobe") berarti Permusuhan dalam bahasa Ibrani.[1]
Sejumlah faktor menunjukkan bahwa cerita ini mungkin sekali terjadi pada abad ke-20 sampai ke-18 SM, yaitu pada zaman Abraham:[2]
·         Tidak ada penyebutan tentang "Israel" maupun hukum Taurat
·         Usia Ayub yang panjang: lebih dari 140 tahun (42:16)
·         Ayub bertindak sebagai imam untuk keluarganya (1:5), suatu hal yang dilarang menurut hukum Taurat.
·         Kekayaan Ayub diukur dengan ternak (1:3)
Sejumlah bukti mengarah kepada masa pemerintahan Salomo, yaitu zaman keemasan sastra Israel:[3]
·         Penyebutan alat-alat dan senjata dari besi (19:2420:2440:18)
·         Pertambangan besi (28:2), menunjuk kepada Zaman Besi, setelah tahun 1200 SM
·         Gambaran tentang kuda perang (39:19-25), yang digunakan paling awal sekitar abad ke-10 SM
·         Adanya kutipan ayat Alkitab dari zaman Salomo, yaitu ayat 7:17-18 dengan Mazmur 8:4; ayat 28:28 dengan Amsal 3:7; 9:10.
Negeri di mana Ayub tinggal, Us, terletak di sebelah timur Kanaan, dekat dengan perbatasan yang memisahkan sisi barat dan sisi timur dari daerah Bulan Sabit yang Subur (Fertile Crescent). Di wilayah itu terdapat banyak kota, peternakan dan kelompok-kelompok pengembara. Orang itu saleh dan jujur, tidak mengacu kepada kesempurnaan tanpa dosa (bdg. pengakuan Ayub akan dosa-dosanya; mis.: 7:20; 13:26; 14:16 dst.), tetapi kejujuran atau integritas yang terus terang, terutama kesetiaan kepada perjanjian (bdg. Kej. 17:1, 2). Terdapat sebuah keselarasan yang nyata di antara apa yang diakui Ayub dengan perilaku hidupnya, sangat bertentangan dengan kemunafikan yang dituduhkan kepadanya oleh Iblis dan kemudian juga oleh rekan-rekannya. Ia takut akan Allah. Di dalam Perjanjian Lama "takut akan Tuhan" merupakan nama dari agama yang sejati. Kesalehan Ayub merupakan hasil komitmen yang sungguh-sungguh kepada Tuhannya, yaitu Tuhan yang dihadapan-Nya Ayub hidup dengan hormat, dengan menolak dengan tegas apa yang Ia larang.[4]
John Hick sebagaimana dikutip A.A. Yewangoe memahami penderitaan sebagai keadaan mental, keadaan pikiran yang sangat mengharapkan atau tergila-gila bahwa situasi adalah sebaliknya, kemampuan untuk membayangkan alternatif-alternatifnya dan (dalam diri manusia) kesadaran moral.[5]
Kita harus mengakui bahwa masalah penderitaan adalah nyata dan kompleks. Alkitab sendiri menggunakaan banyak kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan ide ini, misalnya, kesusahan, kesedihan, kesulitan, tekanan, kesakitan, masalah dan kesengsaraan.
Kompleksitas ini terlihat dalam bentuk-bentuknya, yaitu:
1. Dari segi targetnya : individual, komunitas, negara, regional atau keseluruhan manusia.
2. Dari segi caranya mempengaruhi manusia : secara fisik maupun secara nonfisik.
Penderitaan secara fisik terutama mempengaruhi tubuh orang atau komunitas, contohnya penyakit fisik, ketidakmampuan fisik, kelaparan, kehausan, penyakit dan kematian. Penderitaan nonfisik terutama mempengaruhi  keberadaan batiniah manusia secara intelektual, secara emosional, secara psikologis maupun secara spiritual. Hal itu dinyatakan konflik, kecemasan, depresi, kekecewaan, ketertinggalan, rasa malu, rasa bersalah dan selanjutnya. Namun, tipe penderitaan ini secara dekat dihubungkan karena manusia terdiri dari baik dimensi fisik maupun nonfisik.
3. Dari segi tingkat intensitasnya : bisa ditarik mulai dari penderitaan pribadi yang kecil sampai penderitaan regional atau global yang hebat yang disebabkan oleh kemiskinan, kebutahurufan, mati kelaparan, polusi lingkungan, penyakit alami, tekanan, perang, terorisme dan AIDS.[6]
Kesetiaan kepada Allah tidaklah menjamin kebebasan dari kesulitan, penyakit, dan penderitaan dalam kehidupan orang percaya. Alkitab memberikan banyak contoh dari orang saleh yang mengalami penderitaan cukup hebat karena berbagai alasan misalnya Yusuf, Daud, Yeremia, dan Paulus.
Ada berbagai alasan mengapa orang percaya menderita.
1.      Orang percaya mengalami penderitaan sebagai kelanjutan dampak kejatuhan Adam dan Hawa. Ketika dosa memasuki dunia, penyakit, kesusahan, pertikaian, dan akhirnya kematian memasuki kehidupan semua manusia (Kej 3:16-19). Paulus menegaskan hal ini, "Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa"
  1. Beberapa orang percaya menderita karena alasan yang sama dengan orang yang tidak percaya, yaitu sebagai akibat perbuatan mereka sendiri. Prinsip "orang menuai apa yang ditaburnya" (Gal 6:7) secara umum berlaku untuk semua orang. Jikalau kita mengemudikan mobil dengan sembarangan, kita bisa terkena kecelakaan hebat. Jikalau kita tidak berdisiplin dalam kebiasaan makan, kita mungkin sekali akan mengalami masalah kesehatan yang serius. Allah mungkin mempergunakan penderitaan semacam ini sebagai sarana mendisiplin sehingga kita dapat menghasilkan "buah kebenaran yang memberikan damai" (Ibr 12:3-11;
  2. Orang percaya juga menderita, setidak-tidaknya batin mereka, karena mereka hidup di dalam dunia yang berdosa dan jahat. Di sekeliling kita terdapat dampak dosa: kita mengalami kesusahan dan kesedihan ketika menyaksikan kejahatan menguasai kehidupan begitu banyak orang (Yeh 9:4Kis 17:16);
  3. Orang percaya menderita oleh Iblis.
    1. Alkitab menjelaskan bahwa Iblis, selaku "ilah zaman ini" (2Kor 4:4), menguasai dunia jahat ini.
    2. Iblis dan sekutunya senang menganiaya orang percaya. Orang yang mengasihi Tuhan Yesus dan menaati prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan- Nya akan dianiaya karena iman mereka. Sebenarnya, penderitaan semacam itu karena kebenaran bisa menunjukkan pengabdian sejati kita kepada Kristus (Mat 5:10);
  4. Secara lebih positif, alasan lain orang percaya menderita ialah karena "kami memiliki pikiran Kristus" Menjadi orang Kristen berarti berada di dalam Kristus, manunggal dengan Dia; karena itu kita mengambil bagian dalam penderitaan-Nya(1Pet 2:21).

Semua orang tahu bahwa penderitaan itu tidak menyenangkan, tetapi semua orang tidak mau tahu bahwa penderitaan adalah hal yang wajar dalam kehidupan. Sukacita terbesar adalah kegembiraan karena terlepas dari masalah. Tanpa penderitaan kita tidak mengerti rasanya kelegaan. Kita mengalami sakit supaya tahu nikmatnya kesehatan. Tetapi bagaimana jika kita terpaksa menderita karena kesalahan orang lain ? Ini penderitaan yang tidak adil !
Mengapa? Mengapa Tuhan? Mengapa saya harus mengalami semua ini? Apa dosa saya? Pertanyaan serupa sering kita dengar, bahkan mungkin keluar dari mulut kita sendiri, ketika seseorang atau kita mengalami sesuatu yang tidak mengenakkan dalam hidup -- sakit yang tak kunjung sembuh, masalah yang datang bertubi-tubi, gagal dalam pekerjaan, ditinggal orang yang dikasihi, dan sebagainya.
Benarkah setiap penderitaan merupakan akibat dari dosa? Jawabannya, tentu tidak. Memang, dosa pasti akan menghasilkan kesengsaraan, tetapi penderitaan yang dialami seseorang belum tentu karena ia telah berbuat dosa. Ayub adalah contoh nyata bahwa orang saleh pun bisa menderita. Tentang Ayub, Allah berfirman, "...Sebab tiada seorangpun di bumi ini seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan" (Ayub 1:8b). Namun, apa yang terjadi pada Ayub? Dalam sekejap ia kehilangan segala-galanya -- harta benda, kesepuluh anaknya, dan kesehatannya.
Mengapa Ayub yang saleh harus menderita sedahsyat itu? Ada beberapa jawaban tentang tujuan penderitaan dalam kitab Ayub. Menurut Iblis, penderitaan merupakan alat untuk memaksa manusia menyangkal Allah. Iblis beranggapan bahwa kesalehan Ayub selama ini karena Tuhan selalu memberkatinya. Oleh karena itu, Iblis mencobai Ayub melalui berbagai penderitaan dengan tujuan meruntuhkan iman Ayub kepada Allah. Menurut ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad, Zofar), penderitaan selalu merupakan hukuman karena dosa. Pendapat ini tidak dibenarkan oleh Allah (Ayub 4:7-8).
Menurut Ayub, pada mulanya, penderitaan adalah untuk orang jahat, bukan orang benar. Kemudian, Ayub berpendapat bahwa penderitaan merupakan proses Allah untuk menghasilkan seorang yang bersifat emas (Ayub 23:10). Ayub sendiri kemudian mengaku, "Hanya dari kata orang saja aku mengenal Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau" (Ayub 42:5). Ternyata, justru melalui penderitaan yang dialami, Ayub mengenal Allah lebih dalam lagi (Knowing God better through adversity).
Bagaimana menurut Allah? Tuhan sendiri bukan sebagai penyebab Ayub menderita, tetapi Ia mengizinkannya terjadi. Agak aneh ketika Allah menjawab Ayub, Ia tidak menyinggung masalah penderitaan Ayub. Yang penting adalah respons Ayub, bukan sebab mengapa Ayub menderita. Ayub bukan menderita karena dosanya, tetapi janganlah Ayub berdosa dalam penderitaannya. Penderitaan adalah panggilan untuk tetap percaya dan berserah meskipun kita tidak mengerti. Allah adalah adil, berdaulat, dan setia -- apa pun yang terjadi.
Penulis kitab Ayub benar-benar penulis ahli. Dia memberikan narasi di pasal pertama dan kedua bagaikan seorang sutradara yang menceritakan sinopsis film yang sedang dibuatnya, ia buru-buru menurunkan irama menjadi bentuk dialog yang lebih natural. Tirai diturunkan, dan ketika dinaikkan lagi, kita hanya melihat para aktor di panggung, yang terkurung dalam drama itu, tidak memiliki pengetahuan sudut pandang "serba tahu" yang kita nikmati di antara penonton. Walaupun kita sudah tahu jawaaban dari pertanyaan "siapa pelakunya," detektif yang menjadi peran utama itu tidak. Sejak awal, Ayub yang tidak menyadari akan skenario yang bergulir di surga, terjebak dalam bahan-bahan drama. Ia menghabiskan waktunya di panggung berusaha untuk menemukan apa yang sudah kita ketahui sebagai penonton. Ia menggaruk-garuk dirinya dengan sekeping beling dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pedas itu, pertanyaan yang sama dengan yang diajukan hapir semua orang dalam penderitaan besar. Mengapa saya ? Kesalahan apa yang saya lakukan ? Apa yang ingin Tuhan katakan pada saya ?
Bagi penonton, pertanyaan Ayub tentang siapa pelakunya hanyalah bahan perdebatan di panggung, karena kita sudah tahu jawabannya. Apa kesalahan Ayub ? Tidak ada. Tuhan sendiri menyebut Ayub "demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
Mengapa Ayub menderita ? Kita tahu sebelumnya bahwa ia bukan dihukum. Jauh dari itu, ia dipilih sebagai subyek utama dalam pertandingan besar di surga. Ayub mewakili yang terbaik dari spesiesnya, dan Tuhan menggunakannnya untuk membuktikan pada iblis bahwa iman manusia bisa tulus dan tidak mementingkan diri sendiri, tidak tergantung pada anugerah - anugerah yang baik dari Tuhan.
Kontes jagat raya semacam itu menyodorkan masalahnya sendiri tentu saja, tetapi itu adalah masalah yang berbeda yang dipergumulkan kebanyakan orang ketika penderitaan yang tidak terduga melanda.
Dengan mengijinkan kita mengintip ke belakang layar, penulis kitab Ayub menghilangkan semua unsur ketegangan naratif, kecuali satu: misteri tentang bagaimana respon Ayub. Singkatnya, hanya pertanyaan tentang imannya yang belum terjawab. Ini adalah bukti kejeniusan kitab ini, dan yang menjadi petunjuk mengapa kisah ini bisa bertahan sebagai karya literatur, karena kita bisa melupakan pasal 1 dan 2, dan ikut terhanyut dalam kesengsaraan pribadi Ayub. Ia bergulat dengan penderitaan yang tidak terbayangkan dengan kekuatan sedemikian sampai, sepanjang kitab ini, pertanyaannya menjadi pertanyaan kita.
Dalam ucapan-ucapannya, Ayub mengajukan setiap contoh ketidakadilan di dunia yang bisa ia temukan. Mereka dari kita yang tahu seluruh kisahnya, terutama akhirnya, bisa melewatkan dampak kata-kata sengsara itu. Orang tidak akan menduga bisa menemukan argumen-argumen dari penentang Tuhan yang terbesar terselip di tengah Alkitab. Namun justru itulah karakteristik Perjanjian Lama. Seperti yang dikatakan Wiliam Safire, "Kitab Ayub menyenangkan mereka yang tidak menghormati Tuhan, memuaskan para penghujat, dan memberikan sedikitnya penghiburan pada orang-orang sesat. "
Sampai batas tertentu, bisa dikatakan Ayub harus memainkan kembali ujian pertama di taman Eden, dengan taruhan yang ditingkatkan. Adam dan Hawa yang hidup di firdaus menghadapi skenario kasus terburuk untuk mempercayai Tuhan, yang hanya meminta begitu sedikit dari mereka dan menghujani mereka dengan berkat. Dalam neraka hidup Ayub menghadapi skenario terburuk. Tuhan meminta begitu banyak, sementara kutuk menghujani diri Ayub.
Pertandingan antara Iblis dan Tuhan bukan soal remeh. Tuduhan Iblis bahwa Ayub mengasihi Tuhan karena "Engkau telah membuat pagar sekeliling dia," menjadi sebuah serangan pada karakter Tuhan. Itu menyiratkan bahwa Tuhan tidak pantas dikasihi karena DiriNya sendiri, bahwa orang-orang mau mengikut Tuhan hanya karena ada keuntungannya bagi mereka, atau "disuap" untuk berbuat demikian. Dalam pandandan iblis, Tuhan menyerupai politis yang hanya bisa menang dengan politik uang, atau seorang mafioso dengan :"perempuan simpanan" dan bukan istri yang setia.
Respon Ayub, setelah semua perlengkapan iman disingkirkan, akan membuktikan atau menyanggah tantangan iblis. Sebagai orang kaya, Ayub akan rugi besar jika Tuhan berhenti memberkatinya. Apakah ia masih akan terus mempercayai Tuhan, bahkan setelah ia kehilangan semuanya ?
Walaupun Ayub mungkin bisa membantu kita menyusun pertanyaan - pertanyaan tentang penderitaan yang tidak adil dan dimanakah Tuhan ketika hal itu terjadi namun inti kitab ini bukan di sana. Kitab ini tidak memberikan jawaban untuk masalah penderitaan karena prolognya sudah mengibaskan isu itu. Tuhan tidak diadili dalam kitab ini melainkan Ayub yang sedang diuji. Intinya adalah iman: Di mana Ayub ? Bagaimana responnya ?
Semakin saya mempelajari Ayub, semakin saya menyadari saya selalu membaca kitab ini dari sudut pandang pasal 3 dan seterusnya. Saya perlu mundur, dan mempertimbangkan pesan Ayub sejak dari pasal pertama. Di sana saya menemukan plot intinya : manusia terbaik di dunia menderita bencana paling mengerikan, yang menjadi ujian iman dalam bentuk paling ekstrim.
Dalam pasal-pasal pembukaan kitab Ayub, Iblis mengungkapkan dirinya sebagai psikolog perilaku besar pertama. Ayub terkondisi untuk mengasihi Tuhan, katanya. Ambil semua upah positif itu, dan lihat bagaimana imannya runtuh. Ayub, yang tidak sadar dan sama sekali ditutup matanya, ditempatkan sebagai protagonis utama dalam ujian pertarungan ksatria tunggal terbesar sepanjang masa.

KESIMPULAN
Tuhan tidak memberitahu Ayub tentang pertarungan kosmos yang telah melibatkan Ayub di luar kehendaknya, karena mengijinkan Ayub melihat ke belakang layar akan mengubah aturan pertandingan yang sedang berlangsung. Tuhan juga tidak menunjukkan simpati sedikit pun pada kondisi fisik dan emosional Ayub. Justru sebaliknya, Tuhan menempatkan posisi Ayub sebagai tertuduh, memberondongnya dengan keras dan dari sana melanjutkan sampai Ayub tidak bisa lagi berkata apa-apa. Dengan kata lain, mendadak saja Tuhan mengembalikan Ayub ke kursi terdakwa.
Pesan Tuhan, yang diungkapkan dalam puisi yang amat indah, intinya adalah seperti ini: Sampai kau tahu sedikit lebih banyak tentang cara menjalankan alam semesta fisik, Ayub, jangan memberitahu Aku bagaimana caranya menjalankan alam semesta. Dengan menggambarkan keajaiban alam, terutama menikmati keliarannya, Tuhan memberi petunjuk tentang betapa keterbatasan kodrati dalam hukum alam, dan tentang pilihanNya untuk tidak campur tangan.
Tuhan hanya mengritik Ayub dalam satu hal, keterbatasan sudut pandangnya. Ayub telah mendasarkan penilaiannya pada bukti-bukti yang tidak lengkap - wawasan yang bagi kita di antara penonton sudah diketahui sejak semula.



[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Ayub
[2] Nelson's Complete Book of Bible Maps and Charts. Thomas Nelson, Inc. 1996. ISBN 0-7852-1154-3
[3] The Nelson Study Bible. Thomas Nelson, Inc. 1997
[4] http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Ayub+1%3A1
[5] A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia, Jakarta: BPK GM, 2004, hlm. 13

[6] S. Boonyakiat, “Suffering” in Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti Karkkainen (Ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 858

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANDROID “PERUSAK” MASA DEPAN

Smart People, jagalah anak kita dengan segala kewaspadaan yang kita miliki. Karena existensi kita ditentukan oleh keturunan kita (anak...