PENDERITAAN ORANG BENAR
Mangadar,A.Md.,S.Pd.,M.Pd(C)
PENDAHULUAN
Kitab
Ayub (bahasa Ibrani: איוב, Standar Iyyov Tiberias ʾIyyôḇ; bahasa Arab: أيّوب, ʾAyyūb; bahasa Inggris: Book of Job) adalah salah satu
kitab dalam Tanakh) yang juga
merupakan bagian dari Perjanjian Lama.
Kitab ini merupakan yang pertama dalam kumpulan kitab-kitab syair (= nyanyian
atau puisi). Nama Ayub atau Yob ("Yobe") berarti Permusuhan dalam bahasa Ibrani.[1]
Sejumlah
faktor menunjukkan bahwa cerita ini mungkin sekali terjadi pada abad ke-20 sampai ke-18
SM, yaitu pada zaman Abraham:[2]
·
Tidak
ada penyebutan tentang "Israel" maupun hukum Taurat
·
Ayub
bertindak sebagai imam untuk keluarganya (1:5),
suatu hal yang dilarang menurut hukum Taurat.
·
Adanya
kutipan ayat Alkitab dari zaman Salomo, yaitu ayat 7:17-18 dengan Mazmur 8:4; ayat 28:28 dengan Amsal 3:7; 9:10.
Negeri
di mana Ayub tinggal, Us, terletak di sebelah timur Kanaan, dekat dengan
perbatasan yang memisahkan sisi barat dan sisi timur dari daerah Bulan Sabit
yang Subur (Fertile Crescent). Di wilayah itu terdapat banyak kota, peternakan
dan kelompok-kelompok pengembara. Orang
itu saleh dan jujur, tidak
mengacu kepada kesempurnaan tanpa dosa (bdg. pengakuan Ayub akan dosa-dosanya;
mis.: 7:20; 13:26; 14:16 dst.),
tetapi kejujuran atau integritas yang terus terang, terutama kesetiaan kepada
perjanjian (bdg. Kej. 17:1, 2).
Terdapat sebuah keselarasan yang nyata di antara apa yang diakui Ayub dengan
perilaku hidupnya, sangat bertentangan dengan kemunafikan yang dituduhkan
kepadanya oleh Iblis dan kemudian juga oleh rekan-rekannya. Ia takut akan Allah. Di dalam Perjanjian Lama "takut
akan Tuhan" merupakan nama dari agama yang sejati. Kesalehan Ayub
merupakan hasil komitmen yang sungguh-sungguh kepada Tuhannya, yaitu Tuhan yang
dihadapan-Nya Ayub hidup dengan hormat, dengan menolak dengan tegas apa yang Ia
larang.[4]
John Hick sebagaimana dikutip A.A.
Yewangoe memahami penderitaan sebagai keadaan mental, keadaan pikiran yang
sangat mengharapkan atau tergila-gila bahwa situasi adalah sebaliknya,
kemampuan untuk membayangkan alternatif-alternatifnya dan (dalam diri manusia)
kesadaran moral.[5]
Kita harus mengakui bahwa masalah
penderitaan adalah nyata dan kompleks. Alkitab sendiri menggunakaan banyak
kata-kata yang berbeda untuk mengungkapkan ide ini, misalnya, kesusahan,
kesedihan, kesulitan, tekanan, kesakitan, masalah dan kesengsaraan.
Kompleksitas ini terlihat dalam
bentuk-bentuknya, yaitu:
1. Dari segi targetnya : individual,
komunitas, negara, regional atau keseluruhan manusia.
2. Dari segi caranya mempengaruhi
manusia : secara fisik maupun secara nonfisik.
Penderitaan secara fisik terutama
mempengaruhi tubuh orang atau komunitas, contohnya penyakit fisik,
ketidakmampuan fisik, kelaparan, kehausan, penyakit dan kematian. Penderitaan
nonfisik terutama mempengaruhi keberadaan batiniah manusia secara
intelektual, secara emosional, secara psikologis maupun secara spiritual. Hal
itu dinyatakan konflik, kecemasan, depresi, kekecewaan, ketertinggalan, rasa
malu, rasa bersalah dan selanjutnya. Namun, tipe penderitaan ini secara dekat
dihubungkan karena manusia terdiri dari baik dimensi fisik maupun nonfisik.
3. Dari segi tingkat intensitasnya :
bisa ditarik mulai dari penderitaan pribadi yang kecil sampai penderitaan
regional atau global yang hebat yang disebabkan oleh kemiskinan, kebutahurufan,
mati kelaparan, polusi lingkungan, penyakit alami, tekanan, perang, terorisme
dan AIDS.[6]
Kesetiaan kepada Allah tidaklah menjamin kebebasan dari
kesulitan, penyakit, dan penderitaan dalam kehidupan orang percaya. Alkitab
memberikan banyak contoh dari orang saleh yang mengalami penderitaan cukup
hebat karena berbagai alasan misalnya Yusuf, Daud, Yeremia, dan Paulus.
Ada
berbagai alasan mengapa orang percaya menderita.
1. Orang percaya mengalami penderitaan
sebagai kelanjutan dampak kejatuhan Adam dan Hawa. Ketika dosa memasuki dunia,
penyakit, kesusahan, pertikaian, dan akhirnya kematian memasuki kehidupan semua
manusia (Kej 3:16-19). Paulus menegaskan hal ini,
"Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang,
dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu menjalar kepada semua orang,
karena semua orang telah berbuat dosa"
- Beberapa orang percaya
menderita karena alasan yang sama dengan orang yang tidak percaya, yaitu
sebagai akibat perbuatan mereka sendiri. Prinsip "orang menuai apa
yang ditaburnya" (Gal 6:7) secara umum berlaku untuk
semua orang. Jikalau kita mengemudikan mobil dengan sembarangan, kita bisa
terkena kecelakaan hebat. Jikalau kita tidak berdisiplin dalam kebiasaan
makan, kita mungkin sekali akan mengalami masalah kesehatan yang serius.
Allah mungkin mempergunakan penderitaan semacam ini sebagai sarana
mendisiplin sehingga kita dapat menghasilkan "buah kebenaran yang
memberikan damai" (Ibr 12:3-11;
- Orang percaya juga menderita,
setidak-tidaknya batin mereka, karena mereka hidup di dalam dunia yang
berdosa dan jahat. Di sekeliling kita terdapat dampak dosa: kita mengalami
kesusahan dan kesedihan ketika menyaksikan kejahatan menguasai kehidupan
begitu banyak orang (Yeh 9:4; Kis 17:16);
- Orang percaya menderita oleh
Iblis.
- Alkitab menjelaskan bahwa
Iblis, selaku "ilah zaman ini" (2Kor 4:4), menguasai dunia jahat ini.
- Iblis dan sekutunya senang
menganiaya orang percaya. Orang yang mengasihi Tuhan Yesus dan menaati
prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan- Nya akan dianiaya karena iman
mereka. Sebenarnya, penderitaan semacam itu karena kebenaran bisa
menunjukkan pengabdian sejati kita kepada Kristus (Mat 5:10);
- Secara lebih positif, alasan
lain orang percaya menderita ialah karena "kami memiliki pikiran
Kristus" Menjadi orang Kristen berarti berada di dalam Kristus,
manunggal dengan Dia; karena itu kita mengambil bagian dalam
penderitaan-Nya(1Pet 2:21).
Semua orang tahu bahwa penderitaan itu tidak menyenangkan,
tetapi semua orang tidak mau tahu bahwa penderitaan adalah hal yang wajar dalam
kehidupan. Sukacita terbesar adalah kegembiraan karena terlepas dari masalah.
Tanpa penderitaan kita tidak mengerti rasanya kelegaan. Kita mengalami sakit
supaya tahu nikmatnya kesehatan. Tetapi bagaimana jika kita terpaksa menderita
karena kesalahan orang lain ? Ini penderitaan yang tidak adil !
Mengapa? Mengapa Tuhan? Mengapa saya harus mengalami
semua ini? Apa dosa saya? Pertanyaan serupa sering kita dengar, bahkan mungkin
keluar dari mulut kita sendiri, ketika seseorang atau kita mengalami sesuatu
yang tidak mengenakkan dalam hidup -- sakit yang tak kunjung sembuh, masalah
yang datang bertubi-tubi, gagal dalam pekerjaan, ditinggal orang yang dikasihi,
dan sebagainya.
Benarkah setiap penderitaan merupakan akibat dari dosa?
Jawabannya, tentu tidak. Memang, dosa pasti akan menghasilkan kesengsaraan,
tetapi penderitaan yang dialami seseorang belum tentu karena ia telah berbuat
dosa. Ayub adalah contoh nyata bahwa orang saleh pun bisa menderita. Tentang
Ayub, Allah berfirman, "...Sebab tiada seorangpun di bumi ini seperti dia,
yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan" (Ayub 1:8b). Namun, apa yang terjadi pada Ayub? Dalam sekejap
ia kehilangan segala-galanya -- harta benda, kesepuluh anaknya, dan
kesehatannya.
Mengapa Ayub yang saleh harus menderita sedahsyat itu?
Ada beberapa jawaban tentang tujuan penderitaan dalam kitab Ayub. Menurut
Iblis, penderitaan merupakan alat untuk memaksa manusia menyangkal Allah. Iblis
beranggapan bahwa kesalehan Ayub selama ini karena Tuhan selalu memberkatinya.
Oleh karena itu, Iblis mencobai Ayub melalui berbagai penderitaan dengan tujuan
meruntuhkan iman Ayub kepada Allah. Menurut ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad,
Zofar), penderitaan selalu merupakan hukuman karena dosa. Pendapat ini tidak
dibenarkan oleh Allah (Ayub 4:7-8).
Menurut
Ayub, pada mulanya, penderitaan adalah untuk orang jahat, bukan orang benar.
Kemudian, Ayub berpendapat bahwa penderitaan merupakan proses Allah untuk
menghasilkan seorang yang bersifat emas (Ayub 23:10). Ayub sendiri kemudian
mengaku, "Hanya dari kata orang saja aku mengenal Engkau, tetapi sekarang
mataku sendiri memandang Engkau" (Ayub 42:5). Ternyata, justru melalui
penderitaan yang dialami, Ayub mengenal Allah lebih dalam lagi (Knowing God
better through adversity).
Bagaimana
menurut Allah? Tuhan sendiri bukan sebagai penyebab Ayub menderita, tetapi Ia
mengizinkannya terjadi. Agak aneh ketika Allah menjawab Ayub, Ia tidak
menyinggung masalah penderitaan Ayub. Yang penting adalah respons Ayub, bukan
sebab mengapa Ayub menderita. Ayub bukan menderita karena dosanya, tetapi
janganlah Ayub berdosa dalam penderitaannya. Penderitaan adalah panggilan untuk
tetap percaya dan berserah meskipun kita tidak mengerti. Allah adalah adil,
berdaulat, dan setia -- apa pun yang terjadi.
Penulis kitab Ayub benar-benar penulis ahli. Dia memberikan
narasi di pasal pertama dan kedua bagaikan seorang sutradara yang menceritakan
sinopsis film yang sedang dibuatnya, ia buru-buru menurunkan irama menjadi
bentuk dialog yang lebih natural. Tirai diturunkan, dan ketika dinaikkan lagi,
kita hanya melihat para aktor di panggung, yang terkurung dalam drama itu,
tidak memiliki pengetahuan sudut pandang "serba tahu" yang kita
nikmati di antara penonton. Walaupun kita sudah tahu jawaaban dari pertanyaan
"siapa pelakunya," detektif yang menjadi peran utama itu tidak. Sejak
awal, Ayub yang tidak menyadari akan skenario yang bergulir di surga, terjebak
dalam bahan-bahan drama. Ia menghabiskan waktunya di panggung berusaha untuk
menemukan apa yang sudah kita ketahui sebagai penonton. Ia menggaruk-garuk
dirinya dengan sekeping beling dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pedas itu,
pertanyaan yang sama dengan yang diajukan hapir semua orang dalam penderitaan
besar. Mengapa saya ? Kesalahan apa yang saya lakukan ? Apa yang ingin Tuhan
katakan pada saya ?
Bagi penonton, pertanyaan Ayub tentang siapa pelakunya
hanyalah bahan perdebatan di panggung, karena kita sudah tahu jawabannya. Apa
kesalahan Ayub ? Tidak ada. Tuhan sendiri menyebut Ayub "demikian saleh
dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan."
Mengapa Ayub menderita ? Kita tahu sebelumnya bahwa ia bukan
dihukum. Jauh dari itu, ia dipilih sebagai subyek utama dalam pertandingan
besar di surga. Ayub mewakili yang terbaik dari spesiesnya, dan Tuhan
menggunakannnya untuk membuktikan pada iblis bahwa iman manusia bisa tulus dan
tidak mementingkan diri sendiri, tidak tergantung pada anugerah - anugerah yang
baik dari Tuhan.
Kontes jagat raya semacam itu menyodorkan masalahnya sendiri
tentu saja, tetapi itu adalah masalah yang berbeda yang dipergumulkan
kebanyakan orang ketika penderitaan yang tidak terduga melanda.
Dengan mengijinkan kita mengintip ke belakang layar, penulis
kitab Ayub menghilangkan semua unsur ketegangan naratif, kecuali satu: misteri
tentang bagaimana respon Ayub. Singkatnya, hanya pertanyaan tentang imannya
yang belum terjawab. Ini adalah bukti kejeniusan kitab ini, dan yang menjadi
petunjuk mengapa kisah ini bisa bertahan sebagai karya literatur, karena kita
bisa melupakan pasal 1 dan 2, dan ikut terhanyut dalam kesengsaraan pribadi
Ayub. Ia bergulat dengan penderitaan yang tidak terbayangkan dengan kekuatan
sedemikian sampai, sepanjang kitab ini, pertanyaannya menjadi pertanyaan kita.
Dalam ucapan-ucapannya, Ayub mengajukan setiap contoh
ketidakadilan di dunia yang bisa ia temukan. Mereka dari kita yang tahu seluruh
kisahnya, terutama akhirnya, bisa melewatkan dampak kata-kata sengsara itu.
Orang tidak akan menduga bisa menemukan argumen-argumen dari penentang Tuhan
yang terbesar terselip di tengah Alkitab. Namun justru itulah karakteristik
Perjanjian Lama. Seperti yang dikatakan Wiliam Safire, "Kitab Ayub
menyenangkan mereka yang tidak menghormati Tuhan, memuaskan para penghujat, dan
memberikan sedikitnya penghiburan pada orang-orang sesat. "
Sampai
batas tertentu, bisa dikatakan Ayub harus memainkan kembali ujian pertama di
taman Eden, dengan taruhan yang ditingkatkan. Adam dan Hawa yang hidup di
firdaus menghadapi skenario kasus terburuk untuk mempercayai Tuhan, yang hanya
meminta begitu sedikit dari mereka dan menghujani mereka dengan berkat. Dalam
neraka hidup Ayub menghadapi skenario terburuk. Tuhan meminta begitu banyak,
sementara kutuk menghujani diri Ayub.
Pertandingan antara Iblis dan Tuhan bukan soal remeh.
Tuduhan Iblis bahwa Ayub mengasihi Tuhan karena "Engkau telah membuat
pagar sekeliling dia," menjadi sebuah serangan pada karakter Tuhan. Itu
menyiratkan bahwa Tuhan tidak pantas dikasihi karena DiriNya sendiri, bahwa
orang-orang mau mengikut Tuhan hanya karena ada keuntungannya bagi mereka, atau
"disuap" untuk berbuat demikian. Dalam pandandan iblis, Tuhan
menyerupai politis yang hanya bisa menang dengan politik uang, atau seorang
mafioso dengan :"perempuan simpanan" dan bukan istri yang setia.
Respon Ayub, setelah semua perlengkapan iman disingkirkan,
akan membuktikan atau menyanggah tantangan iblis. Sebagai orang kaya, Ayub akan
rugi besar jika Tuhan berhenti memberkatinya. Apakah ia masih akan terus mempercayai
Tuhan, bahkan setelah ia kehilangan semuanya ?
Walaupun Ayub mungkin bisa membantu kita menyusun pertanyaan
- pertanyaan tentang penderitaan yang tidak adil dan dimanakah Tuhan ketika hal
itu terjadi namun inti kitab ini bukan di sana. Kitab ini tidak memberikan
jawaban untuk masalah penderitaan karena prolognya sudah mengibaskan isu itu.
Tuhan tidak diadili dalam kitab ini melainkan Ayub yang sedang diuji. Intinya
adalah iman: Di mana Ayub ? Bagaimana responnya ?
Semakin saya mempelajari Ayub, semakin saya menyadari saya
selalu membaca kitab ini dari sudut pandang pasal 3 dan seterusnya. Saya perlu
mundur, dan mempertimbangkan pesan Ayub sejak dari pasal pertama. Di
sana saya menemukan plot intinya : manusia terbaik di dunia menderita
bencana paling mengerikan, yang menjadi ujian iman dalam bentuk paling ekstrim.
Dalam pasal-pasal pembukaan kitab Ayub, Iblis mengungkapkan
dirinya sebagai psikolog perilaku besar pertama. Ayub terkondisi untuk
mengasihi Tuhan, katanya. Ambil semua upah positif itu, dan lihat bagaimana
imannya runtuh. Ayub, yang tidak sadar dan sama sekali ditutup matanya,
ditempatkan sebagai protagonis utama dalam ujian pertarungan ksatria tunggal
terbesar sepanjang masa.
KESIMPULAN
Tuhan tidak memberitahu Ayub tentang pertarungan kosmos yang
telah melibatkan Ayub di luar kehendaknya, karena mengijinkan Ayub melihat ke
belakang layar akan mengubah aturan pertandingan yang sedang berlangsung. Tuhan
juga tidak menunjukkan simpati sedikit pun pada kondisi fisik dan emosional
Ayub. Justru sebaliknya, Tuhan menempatkan posisi Ayub sebagai tertuduh,
memberondongnya dengan keras dan dari sana melanjutkan sampai Ayub tidak bisa
lagi berkata apa-apa. Dengan kata lain, mendadak saja Tuhan mengembalikan Ayub
ke kursi terdakwa.
Pesan Tuhan, yang diungkapkan dalam puisi yang amat indah,
intinya adalah seperti ini: Sampai kau tahu sedikit lebih banyak tentang cara
menjalankan alam semesta fisik, Ayub, jangan memberitahu Aku bagaimana caranya
menjalankan alam semesta. Dengan menggambarkan keajaiban alam, terutama
menikmati keliarannya, Tuhan memberi petunjuk tentang betapa keterbatasan
kodrati dalam hukum alam, dan tentang pilihanNya untuk tidak campur tangan.
Tuhan hanya mengritik Ayub dalam satu hal, keterbatasan
sudut pandangnya. Ayub telah mendasarkan penilaiannya pada bukti-bukti yang
tidak lengkap - wawasan yang bagi kita di antara penonton sudah diketahui sejak
semula.
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Ayub
[4]
http://alkitab.sabda.org/commentary.php?passage=Ayub+1%3A1
[6] S. Boonyakiat, “Suffering”
in Global Dictionary of Theology, William A. Dyrness, Veli-Matti
Karkkainen (Ed.), Nottingham: IVP, 2008, p. 858
Tidak ada komentar:
Posting Komentar