BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
(2) Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang undangan yang berlaku
Pasal 3
(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di tempat tinggalnya
(2) Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan pada pengadilan, sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat berikut:
a. adanya persetujuan dari istri/istri
b. adalanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka
(2) Persetujuan yang dimaksud apada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tuanya
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dan atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak dapat menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas) tahun
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) .Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut dalam ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antaraseorang saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
c. berhubungan semenda yaitu mertua,anak tiri, menantu, ibu/bapak tiri
d. Berhubungan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan
e. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang
f. yang mempunyai hubungan yang oleh agamnya atau peraturn lain yang berlaku dilarang kawin
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali hal yang tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang Undang ini
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi dengan lain yang telah bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mreka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
Pasal 11
(1) bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu
(2) tenggang waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut
Pasal 12
Tata cara pelaksanaan perkawina diatur dalam peraturan perundang undangan sendiri
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan
(2) Mereka yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungan perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada dibawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut
nyata-nyata mengakibatkan kesengasaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini
Pasal 15
Barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi
(2) Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan dajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan
(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bia ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam pasal 7 ayat 91), Pasal 8, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang undang ini meskipun tidak ada pencegahan perkawinan
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatan perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan alasannya
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut diatas
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara yang singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat syarat untuk melangsungkan pernikahan
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dari suami atau istri
b. Suami atau istri
c. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dari setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus
Pasal 24
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami istri, suami atau istri
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau sitri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat
pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan diperngaharui supaya sah
Pasal 27
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada saat waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri
(3) Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari dari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu, masih dalam tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai ketetapan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu
b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan yang lebih dahulu
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama, dan kesusilaan
(3) Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
(4) Selama perkawinan berlangsungnya perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan persetujuan tidak merugikan pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
Pasal 30
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat
Pasal 31
(1) .Hak dan kedudukan istri adalah seimang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
(2) Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum
(3) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami istri bersama
Pasal 33
Suami Istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia serta memberi bantuan lahir batin kepada yang lain.
juga tidak ada diskriminasi
Pasal 34
(1) .Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan
(2) Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya
(3) .Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena:
a. kematian
b. perceraian dan
c. atas keputusan pengadilan
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. (Judical Review kasus Bambang Tri vs Halimah)
(3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan peruandangan sendiri
Pasal 40
(1) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan pengadilan sendiri
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perkawinan ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan istrinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat perzinahan tersebut
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan menta'ati kehendak mereka yang baik
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tua dan keluarga dalam garis lurus
ke atas bila mereka itu memerlukan bantuan
Pasal 47
Anak yang belum dewasa mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendaki
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal
a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. ia berkelakuan buruk sekali
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut
BAB XI
PERWALIAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik
(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan hormat menghormati agama anak dan kepercayaan anak itu
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatan dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu
Pasal 52
Terhadap wali juga berlaku pasal 48 Undang-undang ini
Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 Undang-undang ini
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian harta benda anak yang dibawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian itu.
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
PEMBUKTIAN ASAL USUL ANAK
Pasal 55
(1) Asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang authentik, yang dikeluarkan pejabat yang berwenang
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang memenuhi syarat
(3) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan
Bagian Kedua
Perkawinan di luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegaraan Indonesia
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan kawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata
(2) Perkawinan camouran yang dilangsungkan di indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang
berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat syarat telah dipenuhi
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak
(4) Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan tiu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3)
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak memiliki kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan setelah keterangan itu diberikan
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang
(2) Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang pencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini
Bagian Keempat
Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam undang-undang ini adalah:
a. Pengadilan agama mereka yang beragama Islam
b. Pengadilan umum bagi yang lainnya
(2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama adalah sah
Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkaan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlaku ketentua-ketentuan berikut:
a. Suami wajb memberi jaminan hidup yang sama kepada semua istri dan anaknya
b. Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi
c. Semua istri mempunyai hak yang sama atau harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing
(2) Jika pengadilan yang memberi izin untuk menikah lebih dari seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain maka berlakulah ketentuan ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuattu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang- undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlike Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers, S 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de Huwelijken S .1898 no 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksanaannya secara selektif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan diatur lebih lajut dengan Peraturan Pemerintah
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
Tidak ada komentar:
Posting Komentar